Like

Selasa, 13 November 2012

III. 3. Berbagi Suka dan Duka dengan Tasha

Di tahun kedua di Prancis, tentunya saya mulai mengenal baik kota indah ini. 
  
  Dari sini, saya mulai belajar banyak apa yang dinamakan hidup mandiri dan bertoleransi. Mulai dari membiasakan keberadaan orang lain di dalam rumah untuk berbagi, mengerti kesibukan dan mood-nya, tidak hanya fokus terhadap diri sendiri, dan tentunya belajar memasak! 
     
    Saya menyadari bahwa Tasha, teman seapartemen ini berhati emas. Dia lebih dewasa dan mengajarkan saya banyak hal tentang hidup. Sering kali kami mengobrol panjang lebar menjelang tidur. Saya menganggap dia seperti kakak sendiri. Kami jarang ada konflik karena menjunjung tinggi nilai saling menghormati. Cuma saya yang berdarah lebih muda, seringkali tidak tahu diri dan sering berapi-api jika ada hal menyenangkan terjadi pada saya. 


Bersama Tasha ketika kami ngopi di salah satu sudut Paris.

Merantaunya kami ke Paris tentunya mempunyai tujuan yang berbeda. Namun, kesamaan untuk bisa bertahan membuat kami cocok satu sama lain. Kami pun mempunyai masalah  yang berbeda. Saya yang dihadapi dengan kehidupan universitas dan tugas-tugas sering kali tidak mempunyai waktu untuk menikmati keindahan kota Paris itu sendiri. 

Ditambah kesibukan bekerja menjemput anak pulang sekolah, menjaga anak balita sampai orang tuanya selesai bekerja, menari aneka tarian tradisional dari berbagai daerah di Indonesia dan mencari tambahan demi mencukupi kebutuhan hidup agar tidak bergantung dengan orang lain. 


Inilah inti hidup di Paris. Mungkin di awal kedatangan, pastinya saya tidak memungkiri adanya orang-orang terdekat yang membantu saya dan memfasilitasi segala kebutuhan. Tetapi, tatkala menjelajahi hidup di Paris menjadi pilihan, maka ketergantungan hidup ada di pundak diri sendiri.

Ada suka dukanya. Selalu yang tercatat rapi dalam pikiran saya adalah saya termasuk barisan orang-orang beruntung yang bisa merantau sedemikian jauhnya dari tanah air. Hal ini saya catat di setiap lembaran kertas kuliah dan agenda. Tujuannya apalagi kalau bukan menyemangati diri sendiri. Misalnya saya lagi didera kesulitan dalam hal pelajaran di sekolah atau presentasi tidak berjalan mulus karena kendala bahasa. Saya kembali bersyukur bahwa saya berada di universitas tersebut. Dan selalu berfikir beribu-ribu orang rela antri untuk bisa bersekolah disini, kok, saya malah patah semangat.

Hal lain yang dihadapi adalah bahwa Paris tidak seindah sewaktu kedatangan saya yang pertama kali. Paris tidak sama dengan cerita dalam film atau cerita orang yang hanya mampir untuk berlibur beberapa hari atau beberapa minggu. Paris tidak sama dengan situasi indah di sekitar taman Menara Eiffel dengan bunga-bunga yang indah bermekaran di musim panas.

Coba bayangkan jika harus berjibaku dengan cucian kotor dan antri di tempat pencucian umum. Atau parahnya lagi, jika harus bekerja dalam ruangan sempit, bahkan untuk menggerakkan badan saja sulit? Atau harus terperangkap dalam kamar untuk berkutat dengan laporan kuliah? Selain itu, melawan cuaca ekstrem di musim dingin untuk berangkat kuliah atau bekerja. Juga bertarung menaiki transport umum, yang bisa dibilang nyaman, tetap saja, di musim dingin bukanlah hal yang menyenangkan. Belum lagi ditambah pakaian kita yang serba berlapis-lapis dan jaket tebal untuk melindungi kulit tropis yang tidak tahan dingin. Ah, kok, mengeluh saja, sih? Haha..siapa suruh datang kembali ke Paris?

(untuk Tasha yang telah berbagi sebagian besar ruangan apartemen yang kecil dan hangat)
Foto by: Herman. Koleksi: Ita

Cerita Lanjutan:
http://puruhita-journey.blogspot.mx/2012/11/iii-4-hidup-di-paris-tidak-sama-dengan.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar