Like

Minggu, 31 Maret 2013

X. 8. Mengunjungi Pegunungan Dieng

Masih ingat cerita perjalanan nyekar ke makam leluhur ke Yogyakarta, Prembun, Gombong dan Wonosobo? Nah, dalam perjalanan ke Wonosobo dan kami menginap semalam di kota sejuk ini, kami menyempatkan diri ke Pegunungan Dieng di pagi  hari, sebelum nyekar.


Kami memang sengaja berangkat pagi-pagi sekali menuju Dieng dari Wonosobo dengan menumpang bus umum. Jarak tempuh tidak sampai 1 jam.

Menurut sejarah, Dieng adalah tempat berkumpulnya para dewa. Pada zaman dahulu, dataran tinggi dianggap tempat suci para dewa. Kebetulan sekali secara geografis, Dieng terletak di dataran tinggi, yang tingginya 2000 meter di atas permukaan laut.

Pegunungan Dieng ini dikelilingi oleh gunung vulkanik yang masih aktif, bertetanggan dengan gunung kembar Sindoro-Sumbing.

Candi-candi di Dieng. (Atas dan Kiri Bawah): Candi Arjuna. (Kanan Bawah): Candi Bima.

Cuaca Dieng di pagi hari cukup dingin dan menusuk tulang. Kami tidak siap pakaian hangat, tetapi tetap bersemangat mengunjungi beberapa kompleks candi, yaitu Candi Arjuna dan Candi Bima.

Dengan menumpang ojek di pengkolan di dekat halte bus, sang ojek mengantar kami ke Telaga Warna yang benar-benar apik. Karena kami mengunjunginya di pagi hari, kabut menyelimuti seakan baru bangkit dari telaga.

(Atas): Telaga Warna. (Bawah): Kawah.

Lalu kami mengunjungi salah satu kawahnya. Kawah ini cukup aman untuk dikunjungi. Dieng itu sangat luas dan banyak sekali kawah-kawah yang bisa dikunjungi tetapi ada beberapa yang berbahaya dan mengandung racun.

Karena kami tidak mempunyai banyak waktu, akhirnya kami harus kembali ke Wonosobo sesuai tujuan semula: nyekar ke makam leluhur yang letaknya tak jauh dari tengah kota dan terletak juga di dataran tinggi.

(Atas): Letak geografis Dieng. (Bawah): Landscape Dieng dan tanaman kentang.

Dalam perjalan menuju Wonosobo, kami melihat hamparan hijau di depan mata dan perkebunan kentang. Dieng memang terkenal dengan salah satu penghasil kentang terbesar.

Suat saat kami akan kembali lagi mengunjungi Pegunungan Dieng yang indah.

Dieng, awal tahun 2011

X. 7. Trip Solo dan Yogyakarta (Imogiri dan Merapi)


Lanjut lagi cerita tentang perjalanan pulang kampung. Selama tinggal lebih dari 2 minggu di Yogya, saya kedatangan tamu agung, Cindy. 

Adalah salah satu sahabat saya yang baru menyelesaikan sekolah S3-nya di Prancis dan memutuskan untuk kembali ke tanah air.
Ketika mengetahui saya berada di Yogya, Cindy langsung terbang menyusul saya dan kami pun menghabiskan waktu bersama selama 4 hari.

Berkunjung ke Solo dengan menumpang Kereta Ungu Cantik

Kedatangan Cindy ke Yogya tentu saya sambut dengan hati riang. Akhirnya ada teman pecicilan, hehe. Setelah melepas rindu, kami pun menyusul jadwal perjalanan. Akhirnya kami sepakat untuk mengunjungi Solo dengan menumpang kereta dari stasiun Tugu.
Sungguh kaget dan tidak mengira bahwa kereta menuju Solo ini berdandan cantik dan gerbong khusus wanita. Wah!

Perjalanan Yogya-Solo dengan menumpang kereta ungu cantik ;)

Seharian di Solo kami habiskan mengunjungi Museum Keraton, kemudian Pasar Klewer dan berakhir di café di dekat Keraton. Yang kami butuhkan adalah waktu mengobrol dan mengobrol.

Menjelang sore hari, kami kembali ke Yogya dan menumpang kereta yang sama.

Nyekar ke Imogiri

Di hari berikutnya, kami ingin menjelajah Yogya tetapi dengan mengunjungi tempat-tempat wisata yang berbeda. Borobudur dan Prambanan memang masuk dalam daftar, tetapi akhirnya kami memilih menjelajah Yogya bagian selatan.

Serunya ke Imogiri karena kami harus menaiki tangga yang jumlahnya lebih dari 300 anak tangga. Capek? Pastilah. Tapi dibawa enjoy aja.

Nyekar ke Imogiri, menikmati keindahan alam Yogya sekaligus wisata kuliner.

Di Imogiri, kami nyekar ke makam Sultan Agung, kemudian sempat berjalan-jalan di area makam yang memang daerahnya masih hijau dan asri serta bangunan dengan gaya arsitektur Jawa.

Yang serunya lagi, ketika kembali, kami tidak melalui jalan yang sama. Melainkan melalui perkampungan penduduk dan melalui hutan yang terawat. Alam Jawa memang indah sekali.

Sebelum pulang, kami menyempatkan jajan makanan Jawa di warung terdekat dan merasakan masakan lokal. Ini yang membuat rindu pulang kampung.

Menjelajah Merapi 

Yang menarik perhatian kami juga adalah mengunjungi daerah Gunung Merapi yang pada buulan Oktober 2010 meletus dan lahar panasnya memporakporandakan daerah sekitarnya. Bahkan, juru kunci Merapi, Mbak Marijan, meninggal di tempat dalam keadaan bersujud.

Kami melihat langsung daerah tersebut setelah bencana. Benar-benar berubah. Tuhan Maha Kuasa dengan segala isinya.

Menjelajah Merapi setelah Letusan.

Pada saat kedatangan kami itu, sedang dilakukan pembersihan dan mulai dibangun kembali satu demi satu infrastruktur yang rusak karena bencana tersebut.

Kalau dilihat dari dekat, Gunung Merapi ini seperti menyimpan suatu energi yang besar dan terkesan magis.

Akhir kunjungan Merapi, kami mampir ke warung makanan sekitar. Apalagi kalau bukan wisata kuliner kali  ini.


Terima kasih Cindy, Adi dan teman-teman.
Solo-Yogyakarta, awal tahun 2011

X. 6. Trip Yogyakarta: Belajar Membuat Tempe

Nggak bosan, kan, membaca pengalaman saya selama perjalanan pulang kampung? Cerita kali ini berlanjut untuk belajar membuat tempe.


Bagi Anda yang tinggal di Indonesia, terutama di tanah Jawa, tentu tidak pernah krisis tempe. Tinggal ke pasar, ke tukang sayur atau bahkan tetangga Anda menyediakan tempe dan Anda tinggal menikmatinya.

Nah, nasib saya tidak sama dengan yang tinggal di tanah air. Karena seringnya berkelana dan hanya pulang kampung setahun sekali, krisis tempe seringkali menerpa. Rindu sekali makanan yang satu ini.

Tak hilang akal, saya pun berinisiatif untuk belajar membuat tempe. Kebetulan sekali sedang berada di Yogya, jadi saya manfaatkan untuk belajar langsung.

Bahan baku tempe dan proses pembuatannya. Tidak mudah ternyata ;)

Saya beruntung dicarikan orang yang bersedia mau saya repotin untuk mengajari saya membuat tempe. Adalah sebuah desa di daerah Bantul di mana tempe memang populer sebagai industri rumahan. Sang ibu yang berbaik hati menerima saya, sebut saja namanya Ibu Ning, dengan sabar menjelaskan tahapan-tahapan pembuatan tempe.

Beliau menjelaskan bahan baku utama adalah kacang kedelai, lalu dicuci bersih, kemudian digodok di air panas sampai kulit kedelai mengelupas semua. Kemudian setelah kedelai tersebut dianggap matang, maka harus dicuci bersih lagi untuk menghilangkan kulitnya. Kulit kedelai ini memang harus dihilangkan agar ragi tempe bisa berkembang.

Setelah itu, kedelai dikeringkan dan diberikan ragi tempe. Pemberian ragi ini sedikit saja. Lagi diaduk dan kedelai siap untuk dibungkus ke dalam daun pisang. Ukurannya dan takaran sebenarnya terserah kita.

Setelah kedelai dibungkus rapi, diamkan di suhu ruangan selama 2 sampai 3 hari. Jadilah tempe.

Proses tidak sulit namun tahapan-tahapan yang harus dilakukan harus ditaati karena kalau tidak, tempe tidak akan jadi.

Nah, dengan demikian, saya mempunyai bekal tambahan di perantauan. Jika rindu tempe, tinggal saya buat saja. Untuk ragi? Saya beli di Pasar Beringhardjo dan saya bawa selama perjalanan perantauan. Kedelai? Banyak ditemukan di negara-negara amerika latin.

Siapa mau tempe bikinin saya?


Yogyakarta, awal tahun 2011

X. 5. Trip Yogyakarta: Belajar Menenun


Masih cerita tentang kegiatan pulang kampung ke Jawa. Setelah nyekar ke makam leluhur dan belajar teknik pewarnaan batik, kali ini ingin merasakan belajar menenun.

Masih ada seminggu tersisa masa tinggal di Yogyakarta, saya pun memutuskan untuk mengunjungi desa tenun seharian dan belajar menenun di rumah salah satu penduduk di daerah Moyudan, sebelah barat Yogyakarta.

(Atas): hamparan sawah hijau di sekeliling Moyudan. (Tengah): Berhenti sejenak untuk mengamati  seorang nenek yang sedang memintal kapas menjadi benang. (Bawah): Menenun tidak hanya menggunakan benang, tetapi juga daun pandan.

Karena menginap di tengah kota Yogyakarta, jarak yang ditempuh ke daerah Moyudan lumayan jauh. Sepanjang perjalanan sangat menyenangkan karena sekeliling saya adalah hamparan sawah hijau yang sangat luas dan hijau.

Ketika tiba di desa Gamplong, saya nekat saja bertanya kepada salah penduduk bahwa saya ingin belajar menenun seharian dan ingin mengetahui tekniknya. Si pemilik rumah yang baik hati dan ramah, cukup kaget juga atas kenekatan saya karena memang saya tidak menelepon atau membuat janji terlebih dahulu.

Tetapi itulah keramahannya orang Jawa, saya pun dipersilakan masuk dan diperkenalkan oleh para ibu menjelang usia senja yang masih giat bekerja menenun. Mereka ada sepuluh orang lebih. Saya yang tidak mahir berbahasa jawa (walaupun asli dari Jawa), juga mendapat kursus bahasa jawa secara tidak langsung dari percakapan kami seharian penuh itu. Kursus singkat tenun sehari itu diisi dengan canda, tawa dan guyonan khas jawa. Khas ibu-ibu versus anak muda. Seru..

Kegiatan sehari-hari para ibu di Moyudan, Yogyakarta, yang membutuhkan kesabaran dan ketekunan.

Seharian saya belajar menenun dari benang katun dan juga dari daun pandan. Ini yang sering kita lihat hasilnya, seperti tikar pandan.

Benang dan pewarnaan tenun juga ada prosesnya tersendiri dulu. Karena yang ingin saya pelajari adalah cara menenun, maka konsentrasi saya kepada teknik menggunakan mesin tenun yang masih dijalankan secara manual oleh tenaga manusia. Ya, tenaga ibu-ibu usia senja ini. Mereka adalah penduduk sekitar yang memang mempunyai keterampilan menenun secara turun temurun.

Di sepanjang desa tenun ini, kegiatan tidak hanya menenun tetapi sepanjang jalan saya melihat beberapa nenek yang tekun memintal kapas menjadi benang sambil menjaga toko kelontong miliknya. Hasil pintalan tersebut biasanya akan mereka jual ke tempat-tempat pengrajin tenun rumahan. Jadi, dalam satu desa, kegiatan satu sama lain saling menunjang.

Terharu saya menghabiskan seharian di desa tenun ini. Tidak hanya belajar tentang teknik tenun, tetapi jadi mengetahui kehidupan mereka sehari-hari dari menenun.

Untuk para ibu yang bekerja keras dan masih melestarikan budaya tenun.
Yogyakarta, awal tahun 2011.

X. 4. Yogyakarta, Membatik: Melestarikan Budaya Indonesia dan Memperdalam Teknik Pewarnaan


Setelah keliling nyekar ke makam leluhur di Yogyakarta, Prembun, Gombong dan Wonosobo, saya kembali ke Yogyakarta untuk memperdalam teknik pewarnaan batik. Hal ini saya lakukan untuk memperdalam pengetahuan tentang membatik. Sebelumnya memang saya sudah belajar dan bahkan beberapa kali memberikan presentasi dan workshop batik di Prancis dan di beberapa negara Amerika Latin.

Inilah peralatan membatik: dari canting. lilin, sampai kuas.

Saya tidak rela jika orang asing yang lebih menguasai tentang batik daripada saya sendiri sebagai orang Jawa dan juga warga negara Indonesia. Karena biar bagaimanapun, jiwa kita sebagai orang Indonesia akan berbeda penyampaian dengan pengertian batik dibandingkan orang asing belajar membatik. Tidak dapat ´rasa´nya.

Karena itu saya merasa harus belajar dan belajar lagi agar bisa menguasai lebih baik lagi dan bekal saya kelak untuk menjelajah negara-negara lainnya sambil memperkenalkan budaya negeri sendir, selain menari tradisional tentunya. Maka saya luangkan waktu selama seminggu penuh untuk konsentrasi belajar teknik pewarnaan batik dari pagi hingga sore.

Belajar tentang aneka teknik pewarnaan batik.

Selain belajar tentang teknik pewarnaan membatik yang berbeda, saya juga menyempatkan untuk belajar membatik di kayu. Ternyata prosesnya tidak serumit hasil buatannya.

Inilah hasil membatik dengan teknik pewarnaan seperti pembuatan kain lurik. Kanan atas: bersama kedua guru saya.

Selama seminggu konsentrasi belajar membatik lagi, baik di kain dan di kayu, semakin saya menyadari bahwa batik adalah kekayaan budaya yang sangat indah dan agung. Tidak hanya tentang teknik gambar, mencanting dan pewarnaan, tetapi ada cinta di dalam karya tersebut. Ada cerita tentang dalamnya budaya Jawa dalam kehidupan sehari-hari.


Teknik pembuatan batik kayu.

Untuk para guruku yang berbaik hati dan dengan sabar membimbing serta meluangkan waktu dan membagi ilmu yang pasti bermanfaat di kemudian hari.

Yogyakarta, awal tahun 2011

X. 3. Pulang Kampung: Nyekar Leluhur ke Tanah Jawa


Masih bercerita tentang pengalaman pulang kampung yang singkat, untuk bertemu dengan keluarga, teman-teman dan menikmati aneka kuliner nusantara yang membuat rindu.

Di awal tahun 2011, saya mempunyai kesempatan untuk pulang kampung lebih lama. Biasanya hanya punya waktu seminggu, kali ini sampai 2 bulan. Saya memanfaatkan mengisi kegiatan pulang kampung dengan berbagai macam aktivitas.

Keliling jawa pernah saya nikmati sewaktu saya masih kecil. Untuk mengunjungi tanah leluhur kakek dan nenek saya dari pihak ayah dan ibu. Selain itu, kami pernah juga melakukan nyadran atau nyekar leluhur sebelum bulan ramadhan tiba.

Suanana Makam Leluhur di Yogyakarta dan Alamnya.

Nah, kali ini, saya mempunyai waktu lebih banyak dan saya isi dengan napak tipas nyekar dan mengunjungi tanah leluhur dari pihak ayah di Prembun, Jawa Tengah.

Adalah Yogyakarta yang menjadi titik pergi saya sepupu saya yang kebetulan sedang kuliah di Yogya. Dialah yang menemani saya keliling makam leluhur. Mulai dari Yogyakarta itu sendiri dengan mengunjungi Makam Sri Sultan HB II, ke Prembun (makam kakek-nenek dari pihak ayah), Gombong (leluhur dari pihak ibu), sampai ke Wonosobo (leluhur dari pihak ibu).

Selama 3 hari 2 malam, kami road trip nyekar makam leluhur dengan menumpang kereta ekonomi, lalu lanjut dengan menaiki bus umum, angkot sampai ojek demi mencapai tempat tujuan. Petualangan seru menjelajah sekitar Jawa Tengah dengan cara kami sendiri.

Di rumah leluhur (saat ini ditempati paman dari pihak ayah) dan makam leluhur di Prembun dan Gombong, Jawa Tengah.

Sepanjang perjalanan, sejauh mata memandang saya hanya melihat hamparan sawah dan pemandangan yang hijau. Lebih kaget lagi ketika tiba di Prembun, rumah leluhur kakek-nenek saya dari pihak ayah, masih dikelilingi sawah dan tanaman hijau. Sejuk sekali. Suara kereta yang senantiasa melewati daerah rumah ini menambah melodi yang indah tentang alam pedesaan. Situasi alam tidak banyak berubah ketika saya mengunjungi tanah leluhur ini belasan tahun lalu.

Perjalanan berlanjut ke Gombong yang berjarak 2 jam dari Prembun. Kami kesini untuk menyekar ke makam leluhur dari pihak nenek. Letak makam yang berada di atas bukit membuat kami semakin kagum dengan keindahan alam sekitar yang sejuk dan damai.

Menjelang sore kami melanjutkan perjalanan dari Gombong menuju Wonosobo dengan menumpang bus umum. Serunya perjalanan ngeteng ini. Tiba di Wonosobo menjelang tengah malam dan kami mencari hotel kecil untuk bermalam. Udara sejuk yang menusuk tulang tetap tidak berubah seperti belasan tahun saya mengunjunginya. Langit malam yang bersih bertabur bintang selalu setia menemani langit Wonosobo yang sejuk.

Keesokan paginya, kami melanjutkan perjalanan menuju makam leluhur yang berusia ratusan tahun di kompleks pemakaman yang tidak jauh dari pusat kota. Kami berjalan kaki menuju kompleks makam yang terletak di atas bukit dengan pintu gerbang yang hijau pepohonan. Lagi-lagi sejauh mata memandang yang ada hanya pemandangan alam yang hijau dan indah. Di kompleks makam ini, para leluhur kami beristirahat dengan tenang.

Menjelang sore kami kembali ke Yogyakarta dengan menumpang bus umum dari Wonosobo. Perjalanan nyekar dan penuh dengan batin rohani yang penuh membuat saya berpikir bahwa saya tidak boleh melupakan leluhur. Minimal dengan mendoakannya dan mengunjungi dengan rutin makam-makamnya.

Seperti berkaca pada diri dan menjadi renungan sepanjang perjalanan kembali ke Yogyakarta, saya bisa mencapai dan menjejakkan kaki di negara-negara lain yang jaraknya sangat jauh dari negeri sendiri, menetap di sana dan berusaha untuk berbaur dengan penduduk dan memahami tradisi dan budaya mereka.

Karena itu, kebangetan yang amat sangat jika saya pulang kampung ke Indonesia tidak menyempatkan untuk menjejakkan kaki di tanah leluhur, yang pastinya punya andil atas jasa dan pengorbanan mereka sehingga saya bisa seperti saat ini.


Untuk para leluhur, juga untuk kakek-nenek dari kedua orang tua serta orang tua yang mengajarkan dan mengenalkan serta mengajak saya untuk tetap mengenang para leluhur.


Yogyakarta, Awal tahun 2011

Jumat, 29 Maret 2013

X. 2. Harta yang Paling Berharga adalah Keluarga*


Hal sakral yang membuat saya pulang kampung adalah berkumpul dengan keluarga, terutama sungkem kepada ayah dan ibu yang begitu berbesar hati mengikhlaskan saya melangkah jauh dari rumah untuk melihat dunia.

Seringnya memang saya pulang kampung tidak tentu. Paling parah cuma seminggu hanya karena menghadiri pernikahan adik saya. 

Lalu ketika ada pekerjaan dan perjalanan yang dibatalkan. Saya pun langsung ke airport dan membeli tiket ke Indonesia. Mungkin bagi sebagian besar orang, saya gila karena menghabiskan biaya yang sedemikian besar untuk bolak balik ke Indonesia dari negara di mana kala itu saya sedang berada. 

Keluarga besar dari pihak ibu berkumpul pada saat Idul Fitri. 

Terus terang saja, keluarga adalah harta yang paling berharga, seperti bait lagu Keluarga Cemara. Uang dan tiket bisa dicari, tetapi jika rindu orang tua? Saya hanya memikirkan sesering mungkin bertemu mereka dalam setahun. Jika waktu tidak memungkinkan, saya akan menelepon mereka sesering mungkin.

Balik lagi tentang pentingnya keluarga, beberapa tahun belakangan, saya selalu berusaha untuk pulang kampung menjelang Idul Fitri. Moment inilah yang paling penting untuk bertemu keluarga besar dari kedua belah pihak ayah dan ibu. Selain itu juga berkumpul bersama para sepupu dan keponakan.

Keluarga besar dari pihak ayah. Foto bawah: bersama sepupu-sepupu gila ;) berkumpul pada saat Idul Fitri.

Moment priceless ini tidak bisa saya dapatkan sepanjang tahun karena kesibukan masing-masing. Tetapi moment Idul Fitri adalah moment yang tidak bisa ditawar untuk berkumpul. Dan saya pun dengan rela pulang kampung bertemu mereka. Ditambah juga karena ayah saya paling tua saat ini, maka rumah kami ketempatan setiap tahunnya. Jadi, harus membantu mereka menyiapkan rumah untuk didatangi para tamu. Dan itu menyenangkan!

Selain itu, tentu aneka masakan lezat khas Idul Fitri yang saya tidak rela tinggalkan, hehe..

Di kemudian hari, saya tidak ingin menyesal jauh dari keluarga dekat dan tidak mengenal keluarga besar. Sayang banget, kan?

Walaupun langkah kaki saya sudah sedemikian jauh dari rumah, yang penting saya tidak lupa untuk melangkah kembali pulang ke tanah air...



Untuk bapak dan mama yang telah membesarkan dan mendidik saya akan pentingnya nilai-nilai keluarga.

*Bait lagu Keluarga Cemara.

Foto: Koleksi pribadi, Indah, Windy, Ima, Indra Q, Hari dan Adi.

X. 1. Pulang kampung: Rindu Masakan dan Teman-teman Tercinta

Tahukah Anda bahwa hal yang paling menyenangkan dari berpetualang dan hidup nomaden adalah mempunyai waktu pulang kampung ke negeri sendiri?

Sakral bagi saya untuk bertemu keluarga dan teman-teman tersayang. Menghabiskan waktu tanpa stres memikirkan perjalanan, pekerjaan, beradaptasi dengan orang-orang baru serta harus bisa menempatkan diri di setiap keadaan adalah harga mati yang bisa saya dapatkan ketika pulang kampung.

Selain itu, pastinya, dong, menikmati kuliner negeri sendiri. Hal ini tidak bisa dipungkiri, selain rindu keluarga dan teman-teman, rindu masakan juga yang membuat saya menginjakkan kaki kembali ke negeri sendiri.

Setiap pulang kampung, saya menyempatkan bertemu teman-teman Cita Cinta, Femina Group, di mana kami berbagi ruang dan waktu selama hampir 5 tahun bersama. Walaupun saya memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan karena melanjutkan hidup ke Paris, komunikasi kami tidak putus begitu saja. Ikatan batin yang luar biasa, mengantarkan saya pada persahabatan ini.

Sahabat-sahabat yang membuat rindu.

Suka dan duka pun tetap kami bagi bersama. Kami tumbuh bersama dan akhirnya kami mengalami tahap hidup yang lebih bijaksana. Ceileee…hihihi. 

Banyak di antara kami yang telah menikah dan punya anak. Setiap bertemu mereka, selalu saja banyak hal yang seru yang bisa dibagi. Kalau mereka mengagumi setiap langkah saya hingga jauh ke negeri seberang sambil mempromosikan kebudayaan Indonesia dari menari dan membatik, saya malah bangga dengan mereka yang memilih konsisten untuk berkembang di jalur jurnalis yang kritis serta tidak berhenti berkarya.

Karena itulah kami saling berbagi dan saling mengisi. Tak heran, acara temu kangen diisi dengan berbagai macam topik yang seru. Dari pekerjaan sampai cita-cita di masa depan. 

Saya pun juga menyempatkan bertemu sahabat-sahabat tercinta sejak kami duduk di SMA. Dengan berjalannya waktu, kami pun tetap mejalin persahabatan. Jarak tidak menghalangi. Yang penting tetap dekat di hati.

Begitu juga dengan teman-teman kuliah di Perpajakan UI dan teman-teman di Perbanas. Walaupun tidak setiap pulang kampung saya bertemu mereka, yang penting mereka tetap ada di hati saya.

Yang penting lagi untuk ditemui ketika pulang kampung adalah teman-teman di Liga Tari UI. Obrolan tidak hanya seputar tari, tetapi juga tentang perjalanan, misi dan cita-cita kami untuk terus melestarikan kebudayaan Indonesia melalui seni tari.

Jadwal pekerjaan dan perjalanan saya yang tak pernah pasti, seringnya tidak bisa memastikan waktu pulang kampung. Jika ada sedikit waktu, saya tetap meluangkan untuk pulang, meskipun hanya seminggu. Biaya tiket yang mahal tidak menjadi kendala sepanjang terbayar bisa pulang kampung bertemu keluarga dan teman-teman.

Seringnya sih, saya membuat kejutan ketika pulang kampung. Hehe..bukannya tidak ingin dititipin oleh-oleh, karena saya selalu ambil keputusan di menit-menit terakhir ketika jadwal pekerjaan dan perjalanan yang tidak menentu.

Untuk seluruh sahabatku tercinta..
Dari berbagai belahan dunia..2005 sampai kini dan nanti..

Foto: sebagian koleksi Jes, Rahma




IX. 12. Amerika Latin: Bersantap di Restoran, Jangan Lupa Memberikan Tip


Penjelajahan ke negara-negara Amerika Latin, tidak hanya melihat dan mengunjungi tempat-tempat menarik, berbaur dengan penduduk lokal serta mengenal tradisi dan kebiasaan setempat. Hal-hal kecil namun berguna juga memberikan dampak pelajaran berharga bagi saya.

Contoh kecil namun berharga adalah tentang tata cara dan etik bersantap di restoran. Baik itu restoran atau kantin murah, restoran sederhana yang menyediakan menu masakan lokal sampai restoran mewah yang menyediakan menu gastronomi.

Menunggu penerima tamu restoran melayani

Ketika akan masuk di sebuah restoran, tentu ada penerima tamu yang menyambut kita dengan menanyakan untuk berapa orang dan memilih daerah merokok atau tidak. Kemudian si penerima tamu akan mengantar kita sampai kepada meja yang sesuai dengan kriteria kita.

Kemudian akan ada pelayanan yang akan melayani kita dan biasanya setiap pelayan sudah ditugaskan untuk melayani beberapa meja. Si pelayan akan menawarkan memesan minuman terlebih dahulu, kemudian dia akan menjelaskan jenis minuman spesial ala restoran yang tidak ditemukan di tempat lain.

Setelah itu, dia akan menjelaskan menu yang juga tersedia khusus di hari itu atau di bulan itu. Nah, ini kesempatan kita untuk bertanya dan merasakan masakan khusus ala restoran dari menu biasanya.

Ilustrasi restoran di negara-negara berbeda.

Penting! Pemberian tip

Lain di Eropa, lain di Amerika Latin untuk tagihan menu yang kita konsumsi di restoran. Sewaktu saya tinggal di Paris, harga menu di restoran sudah termasuk pajak dan pelayanan. Jika kita ingin menambahkan tip sebelum meninggalkan meja, bukan suatu keharusan. Tidak meninggalkan tip tidak apa-apa.

Lain dengan di kebanyakan negara-negara Amerika Latin, yang sebagian besar tidak memasukkan jasa pelayanan di menu mereka. Jadi di akhir tagihan, biasanya kita diharuskan menambah beberapa persen dari total menu yang kita konsumsi. Hal ini dikarenakan para pelayanan mendapatkan gaji tambahan dari tip pelanggan restoran.

Sewaktu di Brazil, kita diharuskan memberikan tip 10% dari total tagihan makanan dan minuman yang kita konsumsi. jika ingin memberikan lebih dari 10%, ya tidak apa-apa juga.

Lain lagi sewaktu saya berada di Santa Cruz de la Sierra, Bolivia. Kita diwajibkan memberikan tip minimal 20% dari total yang dikonsumsi. Harga makanan dan minuman tidak semahal di Brazil, jadi memberikan tip 20% menurut saya pantaslah. Dan karena juga gaji murni pelayan didapat dari tip pelanggan.

Sedangkan di Venezuela, tip pelayanan restoran harus 12% dari total tagihan. Hal ini juga karena harga menu tidak termasuk jasa pelayanan. Pengalaman saya selama tinggal di Caracas, pelayanan mereka tidak memuaskan dan seenaknya. Jadi, kalau memberikan tip 12% dari total yang saya konsumsi, kok, kayaknya nggak rela banget dengan pelayanan yang diberikan. 

Saya pernah mempunyai pengalaman tidak mengenakkan ketika bersantap di salah satu restoran di Caracas. Pesanannya lama sekali datangnya. kira-kira 1,5 jam dari waktu minuman diantarkan. Pelayanan mereka juga tidak baik sama sekali. Saya pun protes tetapi tidak dihiraukan. Pada saat tagihan datang, saya tidak menyertakan pemberian tip 12% dari total yang dikonsumsi. Tahukah Anda? Saya dikejar oleh manajer restoran dan dia berbicara sangat keras. Sayapun menjawab bahwa pelayanan tidak baik dan saya menunggu pesanan selama 1,5 jam. Dan saya sama sekali tidak puas dan para pelayan tidak layak mendapat tip. Walaupun kesal, si manajer menerimanya. Sebenarnya, kasihan juga, sih, mereka tidak saya berikan tip. Tapi biar saja, deh, menjadi pelajaran buat mereka agar melayani konsumen lebih baik lagi. Kalau tetap memberikan tip, tidak mendidik mereka, kan?

Sejak kejadian tidak mengenakkan itu, ada baiknya, sih. Saya jadi jarang pergi ke restoran dan jadi belajar memasak. Prinsip waktu itu: menu biasa saja, pelayanan kurang baik dan mahal membuat saya berpikir dua kali untuk pergi ke restoran.

Lain di Brazil, Bolivia dan Venezuela, saat ini saya menetap di Mexico. Di  sini, tip pelayanan restoran berkisar antara 10 – 15%. Bahkan jika pelayanan sangat memuaskan, para pelanggan tak segan-segan untuk memberikan tip 20% dari total tagihan.

Sedikit tambahan…

  • Sebaiknya menunggu si penerima tamu mencari meja, kemudian mengantarkan kita menuju meja yang  sesuai dengan kriteria. Hal ini berlaku untuk jenis restoran dengan kelas apapun (murah, sederhana, sampai mahal)
  • Tidak main masuk dan asal duduk tanpa menghiraukan si penerima tamu karena akan merugikan diri kita sendiri. Misalnya akan mendapatkan pelayanan  yang buruk selama bersantap. Nggak mau, kan?
  • Biasanya kita dilayani oleh 1 orang pelayan tetap. Masing-masing restoran mempunyai aturan tugas setiap pelayanan melayani beberapa meja. Jadi, kalau kita membutuhkan sesuatu, tunggu sampai kita melihat pelayan yang melayani kita. Jangan asal panggil pelayan yang lagi lewat karena akan mengacaukan pelayanan dan pesanan.
  • Jika kita membayar tagihan menu menggunakan kartu, sebaiknya tip dipisah dengan dibayar tunai untuk memudahkan mereka memisahkan tagihan restoran dan tip untuk para pelayan.
  • Jadi…jangan lupa, ya, menambahkan minimal 10% dari total tagihan jika suatu saat Anda berkunjung ke negara-negara Amerika Latin.
Buen Provecho!


Etika makan di restoran, Amerika Latin, Juli 2007 – saat ini..



IX. 11. Tradisi dan Kebiasaan Pesta di Amerika Latin


Kalau Anda di butir bab sebelumnya sudah membaca tentang tradisi pesta ke -15 tahun yang dirayakan dengan melihat tradisi dan kebiasaan masing-masing negara, saat ini saya ingin berbagi tentang tradisi pesta di negara-negara Amerika Latin di mana saya pernah menetap di Venezuela dan saat ini sedang menetap di Mexico.

Barbecue / Parilla / Barbekyu

Ini adalah tradisi di hampir seluruh negara-negara Amerika Latin yang pernah saya kunjungi, dari Paraguay, Brazil,  Bolivia, Colombia, Venezuela sampai Mexico. Malah hampir setiap minggu, acara keluarga ataupun kumpul bersama teman atau tetangga, barbecue adalah acara andalan.

Barbecue adalah acara rutin dan normal dilakukan karena mengingat iklim negara-negara Amerika Latin adalah tropis dan sub-tropis, yang ideal sekali untuk melakukan aktivitas barbecue yang memerlukan ruangan terbuka dan udara yang ideal.

Selain barbecue yang terdiri dari menu aneka daging, salad dan makanan lainnya, tidak lupa aneka minuman juga disajikan. Biasanya barbecue dimulai pukul 2 siang sampai tengah malam. Ya, mereka senang makan, minum dan ngobrol nggak selesai-selesai. Kalau sudah acara seperti ini, makan malam dan makan siang pun digabung.

Ngemil sambil minum

Acara ngemil makanan ringan dan minum adalah acara yang sering dilakukan juga oleh para penduduk Amerika Latin. Biasanya, mereka yang yang tidak ingin repot memasak, acara ngemil ini dijadikan pilihan dengan tujuan untuk kumpul-kumpul antar teman, keluarga dan tetangga.

Bahan cemilan biasanya ringan namun mengenyangkan. Biasanya dilakukan di akhir pekan dari pukul 8 malam sampai pagi dini hari. Tergantung dari tuan rumah atau tamu yang datang.


Ilustrasi barbecue, aneka minuman, aneka cemilan dan toast sewaktu pesta.

Musik dan dansa = Kewajiban pesta

Salah satu yang bikin seru peseta bersama penduduk Amerika Latin adalah musik dan dansa. Mulai dari aneka jenis musik latin populer seperti salsa, merengue, cumbia, reggaetón bahkan pop disco, semuanya melebur dalam acara pesta. Baik itu peseta barbecue, acara ngemil atau hanya acara kumul-kumpul. Bisa dansa atau tidak, yang penting goyang!

Pengalaman pesta di kebanyakan negara Amerika Latin itu…

  • Tamu-tamu biasanya datangnya ngaret parah dari jadwal yang ditentukan. Sebaiknya jangan mudah percaya dan menaati waktu acara. Misalnya ditulis undangan pukul 8 malam, kebanyakan para tamu datang pukul 10 malam. Acara berlangsung sampai matahari terbit. Saya jelas nggak kuat mengikuti ritme pesta mereka. Biar kata ada istilah ´The Night´s still young´, di penghujung jam 1 malam, saya sudah pulang. Ditertawakan? Pasti. Cuek aja.
  • Acara barbecue, ngemil atau acara kumpul-kumpul lainnya yang santai mereka ngaret, sih, mungkin masih dimaklumi, ya, seperti di Indonesia juga yang menganut jam karet. Tetapi kalau acara pernikahan atau pembaptisan mereka aja masih ngaret, saya nggak habis pikir. Saya pernah diundang ke acara pernikahan. Ditulisnya jam 18h00 dimulai pernikahan sipil. Si orang yang nikahin baru datang jam 19.30. Cuek aja, tuh, mereka. 
  • Waktu berada di Caracas, Venezuela, saya diundang untuk ngemil dan minum teh jam 4 sore. Saya pun datang sesuai waktu yang ditentukan oleh tuan rumah. Ketika tiba di rumahnya, dapet salam dari dimulai jam 4 sore! Si empunya rumah belum ngapa-ngapain dan belum menyiapkan apa-apa. Jadilah saya ingin ngerajangin aneka salad dan buah serta membantunya menyiapkan acara ngemil sore ini. Akhirnya acara baru dimulai pukul 6 sore. Hadeuuuhhhh…keburu laper menjelang makan malam.
  • Di Mexico City, saya pernah ketempatan untuk mengadakan acara barbecue. Acara sengaja saya mulai pukul 2 siang. Teman-teman berdatangan sejam kemudian. Saya pikir, jam 7 atau jam 8 malam akan selesai, seperti barbecue yang sudah-sudah kami lakukan. Ternyata….pukul 12 malam mereka baru pada pulang. Biarpun aneka daging sudah habis, tetapi aneka minuman yagn mereka bawa belum habis. Jadilah mereka baru pulang ketika botol-botol minuman tak tersisa isinya. Walaupun mereka membantu saya membereskan barang-barang setelah barbecue, tetap saja badan rasanya mau rontok.
  • Oh iya, biarpun kita ketempatan sebagai tuan rumah untuk acara pesta atau kita diundang sebagai tamu, biasanya kita tidak datang dengan tangan kosong. Secara lisan, kita harus membawa sesuatu, baik itu makanan atau minuman. Tuan rumah tidak menentukan kita harus membawa apa.
  • Memasang music hingga pol. Takut tetangga keberisikan? Nggak peduli. Yang penting pesta. Seringnya saya yang merasa tidak enak. Karena sewaktu pengalaman pernah tingga di Paris, kami pasti menulis surat ijin yang tertempel di pintu utama apartemen agar para tetangga memaklumi akan ada keberisikan dan kami menuliskan waktu pestanya dari pukul sekian sampai pukul sekian.

Setiap negara mempunyai tradisi dan kebiasaan pesta…

  • Sebisa mungkin kita juga mengerti dan memahami tradisi dan kebiasaan mereka berpesta yang menurut saya agak aneh jika dilihat dari budaya negeri sendiri.
  • Budaya ngaret juga sudah mendarah daging di Indonesia tercinta. Tetapi…di kebanyakan negara-negara Amerika Latin lebih juara terlambatnya. Dan mereka cuek aja seperti nggak merasa bersalah dan secara lisan, orang-orang harus maklum dengan keterlambatannya.
  • Saya yang pernah tinggal di Paris dan saat ini menetap di Mexico dan masih dipengaruhi oleh budaya latin yang kuat, maka, ini adalah salah satu geger budaya yang dahsyat untuk mengerti kebiasaan mereka berpesta.
  • Toh akhirnya kembali kepada diri kita sendiri, sih, melihatnya dari sisi apa dan bagaimana. Yang penting, sebisa mungkin kita tetap menghormati dan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap perbedaan ini.


Amerika Latin, dimulai ketika saya berpetualangan tahun 2007 sampai saat ini.
Sebagian foto: Claudine.  

Kamis, 28 Maret 2013

IX. 10. Kegiatan Rutin di Caracas: Dari Kursus Bahasa sampai Belajar Tarian Latin


Masih lanjut cerita tentang pengalaman hidup di Caracas, Venezuela. Kalau di butir bab sebelumnya saya jadi belajar memasak dan menjalin persahabatan dengan 2 wanita Indonesia, kali ini cerita tentang bagaimana saya berbaur dengan kehidupan sehari-hari di Caracas di sela-sela jadwal pameran produk Indonesia yang padat.

Les bahasa Spanyol

Sadar bahwa sebagian besar penduduk Amerika Latin tidak berbahasa inggris, maka saya yang harus belajar bahasa mereka, yaitu bahasa spanyol dengan akses dan beberapa kosa kata ala Venezuela.

Di sela-sela kesibukan mengikuti pameran, saya harus menyempatkan memoles bahasa spanyol. Biar kata mengerti sedikit demi sedikit, jika ada waktu dan biaya lebih, kenapa juga nggak nambah ilmu? Mumpung berada di negara yang berbahasa spanyol.

Manfaat memperdalam bahasa spanyol di Venezuela lumayan banyak. Saya bisa bernegosiasi dalam hal pekerjaan, mempermudah komunikasi dengan penduduk setempat sampai harus survive menghadapi orang ketika saya sempat dijudesin di bank atau di supermarket karena kesalahpahaman.

Selain itu, manfaat belajar bahasa spanyol di sebuah lembaga bahasa juga menambah jumlah teman asing yang kebetulan juga menetap beberapa waktu di Caracas. Saya berteman dengan Serife, cewek baik hati asal Turki. Juga Maaike asal negeri Belanda dan beberapa teman asing lainnya yang berasal dari Estonia, Austria, Cina, Afrika dan Timur Tengah. Guru bahasa kami yang baik hati, bernama Luz, dengan sabarnya mengajari kami. Setelah waktu kursus selasai, beberapa kali kami ngopi bareng.

Di kelas bahasa ini kami diwajibkan untuk memperkenalkan budaya masing-masing negara. Dan  saya sempat menari tarian tradisional Indonesia dan memakai kebaya.

(Atas): Bersama teman-teman sekelas bahasa spanyol dari berbagai macam negara. (Tengah kiri): saya, Maaike, Luz (guru bahasa spanyol), Serife. (Tengah kanan): Kami di tempat penampungan anak-anak Venezuela. (Bawah kiri): berkebaya dan menari untuk presentasi ttg budaya Indonesia. (Bawah kanan): bersama cewek-cewek Venezuela ketika latihan tari Flamenco.

Belajar tari Flamenco, Salsa, Cumbia, Merengue dan Ikutan kelas Zumba

Lagi-lagi jika ada waktu luang, saya manfaatkan semaksimal mungkin. 3 kali seminggu di pagi hari saya isi dengan kursus bahasa spanyol dan di malam hari mengikuti tari flamenco. Tarian asal Spanyol ini menarik perhatian saya sejak dulu. Ketika ada kesempatan, saya mengikuti kelas flamenco ini 3 kali seminggu. Bahkan pernah pentas kecil.

Selain mengikuti kelas tari flamenco, di sela-sela istirahat saya memperkenalkan sedikit gerakan tarian Indonesia. Dari situ, saya kenalan dengan beberapa teman Venezuela dan mengajak saya untuk belajar tarian asal amerika latin lainnya, seperti salsa, tango (tanpa pasangan), cumbia, merengue dan zumba. Yang terakhir ini sebenarnya sudah lama populer di negara-negara Amerika latin. Dengan mengikuti aneka gerakan tari ini, merupakan tabungan keterampilan. Siapa tahun di masa mendatang saya bisa membuka kelas tarian tradisional Indonesia dan dansa khusus tarian Amerika Latin, di manapun nanti saya berada.

Mendatangi Rumah Penampungan Khusus Anak-anak.

Di sela-sela waktu luang, beberapa kali saya mendatangi Rumah Penampungan Khusus Anak-anak di Caracas. Adalah Maaike, teman kursus bahasa Spanyol yang memang sedang magang dan penelitian untuk kuliahnya di Belanda, mengajak kami untuk mengunjungi tempat penampungan anak-anak ini.

Jiwa Maaike sebagai pendidik turut memanggil saya untuk berpartisipasi dengan menyalurkan kemampuan yang saya punya. Sayangnya ketika kami sudah mengatur jadwal, saya harus segera pindah dari Caracas.

Kesan yang saya dapat tentang kehidupan di Caracas sebagai orang asing…

  • Pertama-tama sulit beradaptasi dengan semua keadaan yang serba baru.
  • Bahasa juga menjadi kendala utama. Karena itu saya bela-belain kursus bahasa spanyol. Disini, nih, sebenarnya saya bangga dengan orang-orang Indonesia yang bisa berbahasa inggris di negeri sendiri. Di kebanyakan negara Amerika Latin, penduduknya tidak banyak yang berbahasa inggris.
  • Mentalitas dan karakter penduduk lokal yang tidak sama dengan penduduk Amerika Latin pada umumnya, maka kitalah yang harus bekerja ekstra keras untuk beradaptasi dan memahami mereka. Capek? Kesal? Ya, pasti…sampai rasanya mau koprol bolak balik di jalan raya saking kesalnya.
  • Tapi itulah perbedaan. Kita harus menerima kekurangan dan kelebihan setiap bangsa yang berbeda. lagi-lagi memang sulit awalnya dan kita yang harus lebih berusaha memahami mereka.
  • Sifat mereka yang tidak butuh akan kehadiran orang asing melekat dan mendarah daging. Tetapi cuekin, aja. Yang penting kita tidak mengganggu dan merugikan mereka. Kalau kita yang dirugikan, lain urusannya.
  • Saya berusaha mencari kesibukan positif yang menguras tenaga, sehingga tidak ada waktu untuk memikirkan kekesalan dan marah-marah nggak ada juntrungan dengan keadaan sehari-hari yang memang seringnya bikin kerutan di wajah nambah. Contoh keadaan: waktu saya ke supermarket, tersedia 10 kasir. Tetapi yang buka hanya 2. Dan antriannya panjang bak ulang naga. Padahal saya melihat banyak petugasnya nggak ngapa-ngapain dan ngobrol-ngobrol saja. Ketika saya bertanya, kenapa nggak buka kasir lain. Jawabnya dengan santai: bukan tugas saya. Booo…??? *gigit keranjang belanjaan.
Caracas, Venezuela, sepanjang jalan kenangan Des 2008 - juni 2010

Selasa, 26 Maret 2013

IX. 9. Amerika Latin: Belajar Memasak dan Menjalin Persahabatan


Kali ini lanjut lagi dengan cerita tentang pengalaman hidup di Amerika Latin. Karena waktu itu saya memutuskan tinggal di Caracas, pengalaman berharga yang saya dapat salah satunya adalah belajar memasak dan menjalin persahabatan dengan 2 wanita Indonesia yang kebetulan saat itu sedang tinggal di Caracas juga.

Adalah Mindy yang tak secara sengaja kami bertemu di rumah Dubes Indonesia untuk Venezuela. Lalu Dian, kami berkenalan ketika saya sedang berpartisipasi mengikuti pameran produk Indonesia di Caracas. Dari pertemuan tak terduga tersebut, kami menjadi sering berjumpa. Jika waktu luang cocok, kami memasak masakan Indonesia bersama. Waktu itu Mindy yang sering memasak dan mencoba berbagai macam resep baru.

Tak bisa dipungkiri bagi saya yang jauh dari rumah tentunya merindukan masakan dan makanan Indonesia. Pada waktu itu saya sama sekali tidak mahir memasak. Sewaktu di Paris, saya masih banyak menjumpai menu masakan Asia atau makan apa saja bagi saya tidak menjadi masalah dan saya memakannya. Hal ini bagian dari konsekuensi tinggal nomaden dan jauh dari Indonesia, jadi, ya harus fleksibel.

Mindy. Dian dan saya. 

Jadi Belajar Memasak!

Tetapi berbeda dengan sewaktu saya berada di Caracas. Saya mulai bosan dan mulai tidak doyan masakan lokal yang menurut saya agak aneh. Karena tidak terbiasa atau mungkin rasanya tidak cocok dengan lidah saya, maka saya memutuskan untuk belajar memasak masakan Indonesia maupun masakan internasional lainnya.

Dengan berjalannya waktu, saya pun menjadi mengenal aneka macam masakan Indonesia dan belajar untuk memasaknya sendiri.
Yang berperan saya menjadi belajar memasak adalah Mindy dan Dian. Dengan mereka, kami terbiasa memasak menu masakan Indonesia. Mulai dari soto ayam, nasi uduk, nasi Bali sampai sate padang, kami pernah memasaknya. Lokasi masak pun bergantian. Seringnya, sih, di rumah Mindy dan Dian. Waktu saya saya tidak mempunyai rumah, melainkan masih menumpang atau pindah-pindah hotel karena pekerjaan saya yang menuntut untuk nomaden.

Pengalaman lainnya tentang memasak adalah ketika saya memasakkan untuk teman-teman Venezuela. Dari Mindy sampai ibu saya di Jakarta, saya telpon untuk menanyakan resep masakan, walaupun juga sering mengintip internet untuk mencari dan mengikuti resep masakan Indonesia.

Menjalin Persahabatan

Selama hampir satu setangah tahun kami berada di Caracas pada saat yang bersamaan, otomatis tumbuh jalinan persahabatan antara kami. Walaupun saat ini kami tidak lagi tinggal di Caracas, komunikasi masih terus berjalan sampai saat ini.

Suka dan duka pun kami rasakan bersama. Mulai dari kehidupan sehari-hari yang terkadang kami anggap tidak normal. Misalnya, supir taksi yang tidak mengetahui jalan atau supir taksi yang sok akrab mengajak ngobrol. Masalah air dan listrik di masing-masing apartemen sampai cerita tentang pembantu maupun kehidupan itu sendiri di Caracas.

Apapun itu suka dan dukanya, dari yang tadinya kami stres dan jadi ingin marah-marah sendiri sampai akhirnya dibawa enjoy aja, deh. 

Serunya disini bertemu dan cocok berteman dengan sesama wanita dari Indonesia. Kami saling mendukung dan menguatkan karena memang tidak mudah hidup merantau di negeri orang dengan segala karakter dan budaya yang berbeda.

Semoga di lain waktu kami dipertemukan lagi dan bisa mengulang kembali masa-masa tinggal seperti di Venezuela. Entah itu di Indonesia, di Jerman atau di Prancis.

Untuk Mindy dan Dian
Foto: Mindy