Dari sini,
saya mulai belajar banyak apa yang dinamakan hidup mandiri dan bertoleransi.
Mulai dari membiasakan keberadaan orang lain di dalam rumah untuk berbagi,
mengerti kesibukan dan mood-nya,
tidak hanya fokus terhadap diri sendiri, dan tentunya belajar memasak!
Saya
menyadari bahwa Tasha, teman seapartemen ini berhati emas. Dia lebih dewasa dan
mengajarkan saya banyak hal tentang hidup. Sering kali kami mengobrol panjang
lebar menjelang tidur. Saya menganggap dia seperti kakak sendiri. Kami jarang
ada konflik karena menjunjung tinggi nilai saling menghormati. Cuma saya yang
berdarah lebih muda, seringkali tidak tahu diri dan sering berapi-api jika ada
hal menyenangkan terjadi pada saya.
Bersama Tasha ketika kami ngopi di salah satu sudut Paris. |
Merantaunya kami ke Paris tentunya
mempunyai tujuan yang berbeda. Namun,
kesamaan untuk bisa bertahan membuat kami cocok satu sama lain. Kami pun
mempunyai masalah yang berbeda. Saya
yang dihadapi dengan kehidupan universitas dan tugas-tugas sering kali tidak
mempunyai waktu untuk menikmati keindahan kota Paris itu sendiri.
Ditambah kesibukan bekerja menjemput anak pulang sekolah, menjaga anak balita sampai orang tuanya selesai bekerja, menari aneka tarian tradisional dari berbagai daerah di Indonesia dan mencari tambahan demi mencukupi kebutuhan hidup agar tidak bergantung dengan orang lain.
Inilah inti hidup di Paris. Mungkin di awal kedatangan, pastinya saya tidak memungkiri adanya orang-orang terdekat yang membantu saya dan memfasilitasi segala kebutuhan. Tetapi, tatkala menjelajahi hidup di Paris menjadi pilihan, maka ketergantungan hidup ada di pundak diri sendiri.
Ditambah kesibukan bekerja menjemput anak pulang sekolah, menjaga anak balita sampai orang tuanya selesai bekerja, menari aneka tarian tradisional dari berbagai daerah di Indonesia dan mencari tambahan demi mencukupi kebutuhan hidup agar tidak bergantung dengan orang lain.
Inilah inti hidup di Paris. Mungkin di awal kedatangan, pastinya saya tidak memungkiri adanya orang-orang terdekat yang membantu saya dan memfasilitasi segala kebutuhan. Tetapi, tatkala menjelajahi hidup di Paris menjadi pilihan, maka ketergantungan hidup ada di pundak diri sendiri.
Ada suka dukanya. Selalu yang tercatat rapi dalam pikiran saya adalah saya termasuk barisan orang-orang
beruntung yang bisa merantau sedemikian jauhnya dari tanah air. Hal ini saya
catat di setiap lembaran kertas kuliah dan agenda. Tujuannya apalagi kalau
bukan menyemangati diri sendiri. Misalnya saya lagi didera kesulitan dalam hal
pelajaran di sekolah atau presentasi tidak berjalan mulus karena kendala bahasa. Saya kembali
bersyukur bahwa saya berada di universitas tersebut. Dan selalu berfikir
beribu-ribu orang rela antri untuk bisa bersekolah disini, kok, saya malah patah semangat.
Hal lain yang dihadapi adalah
bahwa Paris tidak seindah sewaktu kedatangan saya yang pertama kali. Paris
tidak sama dengan cerita dalam film atau cerita orang yang hanya mampir untuk
berlibur beberapa hari atau beberapa minggu. Paris tidak sama dengan situasi
indah di sekitar taman Menara Eiffel dengan bunga-bunga yang indah bermekaran
di musim panas.
Coba bayangkan jika harus
berjibaku dengan cucian kotor dan antri di tempat pencucian umum. Atau parahnya
lagi, jika harus bekerja dalam ruangan sempit, bahkan untuk menggerakkan badan
saja sulit? Atau harus terperangkap dalam kamar untuk berkutat dengan laporan
kuliah? Selain itu, melawan cuaca ekstrem di musim dingin untuk berangkat
kuliah atau bekerja. Juga bertarung menaiki transport umum, yang bisa dibilang
nyaman, tetap saja, di musim dingin bukanlah hal yang menyenangkan. Belum lagi
ditambah pakaian kita yang serba berlapis-lapis dan jaket tebal untuk
melindungi kulit tropis yang tidak tahan dingin. Ah, kok, mengeluh saja, sih? Haha..siapa suruh datang kembali ke Paris?
(untuk Tasha yang telah berbagi sebagian besar
ruangan apartemen yang kecil dan hangat)
Foto by: Herman. Koleksi: Ita
Cerita Lanjutan:
http://puruhita-journey.blogspot.mx/2012/11/iii-4-hidup-di-paris-tidak-sama-dengan.html
Foto by: Herman. Koleksi: Ita
Cerita Lanjutan:
http://puruhita-journey.blogspot.mx/2012/11/iii-4-hidup-di-paris-tidak-sama-dengan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar