Menara Eiffel, simbol kota Paris. |
Mendarat di tengah-tengah cuaca dingin bukan
hal yang mudah. Dan ini saya alami sewaktu mendarat untuk yang ketiga
kalinya di bandara Paris. Pertama ketika Misi Budaya tahun 2000 di akhir bulan juli. Kedua, ketika menghadiri La Journée de la Litérature Indonésienne, yang diadakan oleh Asosiasi Prancis-Indonesia ´Pasar Malam´di bulan oktober 2004. Dan yang ketiga, saat ini, awal bulan februari 2005. Paris tidak bersalju waktu itu. Hanya dinginnya sampai masuk ke tulang.
Saya dijemput oleh keluarga yang
siap menerima saya sebagai tamu homestay.
Disambut dengan senyuman pada saat udara dingin, seperti menerima semangkok sup
hangat di kala hujan turun. Mereka menyiapkan mobil besar yang siap mengangkut
bagasi saya. Maklum, akan tinggal setahun, nggak mungkin bawaan hanya 1
rantang, eh, 1 gembolan.
Kami menuju rumah keluarga
tersebut yang terletak di pinggir kota Paris. Sepanjang perjalanan, sejauh mata
memandang, saya menikmati jalan bebas hambatan yang masih sepi, masih bersih
dan udara yang segar dari balik jendela mobil.
Ketika tiba di rumah keluarga
tersebut, anggota keluarga yang lain menyambut saya dengan ramah, walaupun masih
menganggap saya orang asing yang baru mendarat dari planet lain. Maklum, bentuk
fisik memang beda. Keramahan mereka terlihat dari suguhan teh hangat, perbincangan
tentang persiapan keberangkatan, perasaan meninggalkan tanah air dan tentu saja
bertanya bagaimana reaksi keluarga saya ketika saya benar-benar angkat kaki
dari tanah air dan meninggalkan semuanya. Serta bertanya, apakah saya siap
mengarungi hutan belantara dan memulai hidup para sebagai petualang. Karena
menurut mereka, jalan hidup yang saya pilih dan akan dijalani terbilang nekat
dan saya akan memulainya dari nol. Maksudnya saya tidak akan pernah tahu,
apakah itu akan berhasil atau tidak sampai saya mengalaminya.
Setelah acara perbincangan yang
menggunakan bahasa prancis dasar dan sedikit terbata-bata akhirnya selesai, saya
ditunjukkan kamar yang boleh saya tempati. Kamar bernuansa biru itu tertata
rapi dan bersih. Lalu saya diberitahu tentang peraturan informal di
keluarga tersebut, seperti waktu makan malam, waktu belajar dan segala
peraturan lainnya. Juga saya diinformasikan jarak tempuh dari rumah ke sekolah,
transportasi apa yang akan saya gunakan dan bagaimana caranya.
Saya menerima semua informasi
dengan tatapan bingung namun tidak banyak bertanya. Lah? Baru juga landing, dan belum siap menyerap semua
informasi. Mereka sepertinya paham dari raut wajah saya yang terlihat bingung
dan lelah. Mereka mengatakan bahwa jangan sungkan untuk bertanya jika tidak
mengerti.
Hari itu pun rasanya sangat panjang. Kemudian saya minta izin untuk
beristirahat. Tidak tanggung-tanggung, saya tertidur sampai keesokan harinya. Efek perbedaan waktu.
(Untuk keluarga homestay yang berbaik hati)
Cerita Lanjutan:
http://puruhita-journey.blogspot.mx/2012/11/ii-2-orientasi-sekolah-bahasa-di.html
Cerita Lanjutan:
http://puruhita-journey.blogspot.mx/2012/11/ii-2-orientasi-sekolah-bahasa-di.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar