Like

Senin, 31 Desember 2012

Grateful




Untuk menyambut akhir tahun, blog ini akan rehat dulu, ya. Saya akan melanjutkan tulisan perjalanan dan penjelahan di Brazil, Colombia, Venezuela, Curacao dan Mexico setelah pergantian tahun. Terima kasih untuk para pembaca yang setia mengunjungi blog perjalanan saya yang sudah lama ´tidur´ lebih dari 5 tahun ;)

Beberapa hari yang lalu, saya sengaja terbang dari Mexico untuk menghabiskan sisa akhir tahun 2012 di Prancis. Tidak hanya mengunjungi Paris, saya pun menyempatkan ke pinggiran kota Paris dimana beberapa keluarga yang saya kenal tinggal disana.

Paris memang penuh daya tarik dengan sejuta pesona yang beragam. Saya menyempatkan jalan-jalan menelusuri Sungai Seine, mengunjungi Menara Eiffel, mampir ke museum, ke toko buku dan ngopi bersama beberapa teman. Kedengarannya hits dan lux, ya? Padahal saya melakukan hal ini setelah tidak tinggal lagi di Paris. 

Saya bisa menikmati Paris ketika menjadi turis. Sewaktu tinggal di kota sejuta cahaya ini kurang dari 4 tahun, kegiatan rutin sekolah, kerja dan menari yang menemani kehidupan sehari-hari. Pada waktu itu, saya hanya bisa berjuang agar bisa bertahan hidup di kota romantis yang ´keras´ ini.

Secara sengaja dan tidak, kota ini mendidik saya menjadi pribadi dan karakter yang kuat dengan kehidupan keras yang ditawarkan pada saat bersekolah dulu. 

Ketika saat ini saya menginjakkan kaki lagi di Paris dengan bukan lagi dengan status sebagai penduduk, tetapi sebagai turis yang masih memegang paspor Indonesia dan mempunyai izin tinggal Mexico, tentunya merasakan perbedaan emosi yang sulit diungkapkan.

Sejauh mata memandang Sungai Seine di musim dingin yang hangat (temperatur ´hanya´ 12 derajat), membawa pikiran saya kembali ke masa-masa tinggal di Paris. Begitu banyak pengalaman hidup yang berbeda rasa dan warna yang saya lewati (yang tentunya sudah saya tulis di blog di tulisan awal tentang Paris). Juga tak ketinggalan teman-teman, keluarga sedarah dan keluarga angkat yang banyak membantu dan ikut andil dalam perjalanan hidup saya agar bertahan di Paris.

Bersyukur. Grateful. Remerciements. Agradecido.

Selamat Tahun Baru..Happy New Year..Bonne Année..Feliz Año Nuevo 2013!




   

Kamis, 20 Desember 2012

VIII. 7. Recife, Brazil (1): Dari Pantai Boa Viagem sampai Kota Tua Olinda

Setelah Paraguay, Suriname dan Bolivia, negara ke-4 di benua amerika latin yang saya kunjungi adalah Brazil!


Letak Recife terletak di timur laut Brazil, di Propinsi Pernambuco (PB).

Negara yang terkenal dengan tarian samba, musik bossanova, pantai Copacobana sampai pemain bola kelas dunia yang legendaris, memang mempunyai daya tarik tersendiri. Ditilik dari segi geografis negaranya, Brazil adalah negara terbesar di benua amerika latin dengan letak yang mendominasi garis pantai dan sarangnya hutan amazon. 

Bahasa resmi Brazil adalah portugis. Saya pun berusaha untuk belajar dan menguasai bahasa portugis ala Brazil selama saya menjelajah sebagian besar kota-kotanya, dari Fortaleza, Natal, Recife, Salvador de Bahia, Rio de Janeiro, Sao Paolo, Curitiba, Mato Grasso do Sul sampai Florianopolis. Bahasa inggris atau prancis tidak laku di negara ini. Bahasa spanyol agak mending, karena di selatan Brazil, mereka berbahasa portuñol (portugis-spanyol).

Kota pertama ketika menginjakkan kaki di Brazil sebenarnya adalah Sao Paolo, walaupun hanya transit di bandaranya saja menuju Asunción, Paraguay. Lalu saya pun berkesempatan mengenal Belém, walaupun hanya menginap semalam sewaktu menuju Santa Cruz de la Sierra (Bolivia) dari Paramaribo (Suriname).

Tetapi, Recife dan Olinda adalah dua kota pertama di Brazil yang saya jelajahi dan saya tinggali selama 15 hari ketika berpartisipasi dalam acara pameran kerajinan tangan sedunia.

Bertemu Simone, Jane, Maria

Menginjakkan kaki pertama kali di kota Recife, yang terkenal dengan karnaval-nya setelah Rio de Janeiro, saya tidak mengenal siapun. Indra, kolega saya memberi alamat hotel murah meriah namun nyaman di kota Olinda (6 km dari Recife). Saya pun mendatangi hotel tersebut dan bertemu dengan Maria, yang bekerja disana dan Indra mengenal dia.

Selama tinggal di hotel tersebut, saya mengenal beberapa penghuni lain yang juga kebetulan tinggal lebih lama di Recife. Adalah Jane, wanita Brazil yang menetap di Jerman. Jane tinggal 2 minggu lebih di Recife karena sedang mengikuti program operasi plastik. Kaget? Saya juga, sih, pertama-tama. Pada akhirnya akan terbiasa dengan aneka operasi plastik ketika menjelajah Brazil, Colombia dan lebih parahnya di Venezuela. Cerita tentang fenomena operasi plastik, akan saya bahas di tulisan perjalanan berikutnya.

Jane dan saya menikmati es kelapa di warung pinggir Pantai Boa Viagem.

Lalu saya mengenal Simone. Cewek cantik asal Curitiba, Brazil Selatan ini juga sama-sama bekerja di pemeran kerajinan tangan sedunia. Simone yang ramah dan baik hati, mahir berbahasa inggris. Jadi, kami pun langsung akrab.

Main ke Pantai Boa Viagem

Pameran kerajinan internasional yang digelar sore hari (pukul 5 sore sampai pukul 12 malam), membuat saya mempunyai waktu seharian untuk berjalan-jalan keliling kota Recife dan kota kecil tetangganya, yang dulunya adalah ibukota Propinsi Pernambuco: Olinda, serta main-main ke pantai yang jaraknya cukup dekat dari hotel.

Pantai Boa Viagem. Mirip pantai di Florida?

Adalah Pantai Boa Viagem, yang artinya ´Selamat Jalan´ dalam bahasa portugis. Pantai yang terkenal di Recife ini mempunyai bentuk fisik yang landai dengan pasir putih bertebaran sepanjang garis pantai. Air lautnya yang biru toska indah, membuat siapapun ingin menceburkan diri di dalamnya. Kalau kata orang, sih, bentuk fisiknya seperti pantai di Florida, Amerika Serikat.

Berenang di pinggir pantai aja, ya..nanti hiu-nya negur kalau berenangnya agak jauh dari pantai ;)

Sayangnya, kita tidak bisa berenang terlalu jauh dari garis pantai. Pantai Boa Viagem ini terkenal dengan bahaya ikan hiu yang bersliweran dekat garis pantai. Genit, banget,  si ikan-ikan hiu itu? Tapi anehnya, para pengunjung dan orang yang berenang tetap saja banyak, walaupun si ikan-ikan hiu ini lumyan banyak menelan korban. Lah? Nggak kapok. Hiiii..

Biarpun Pantai Boa Viagem ini banyak hiunya, tidak mengurangi daya tariknya untuk tetap dikunjungi. Leyeh-leyeh di pinggir pantai sambil menyeruput es kelapa muda atau caipirinha (minuman lakohol khas Brazil), menjadi pemandangan umum ketika saya menyempatkan diri mengunjungi Pantai Boa Viagem di sela-sela jadwal pameran yang padat. Bersama Maria, Jane dan Simone, kami pun berbaur dengan penduduk Recife di Pantai Boa Viagem.


Kami berada di kerumunan itu.


Recife dan Pantai Boa Viagem adalah dimulainya petualangan saya menjelajah Brazil dengan mengenal makanan lokalnya, minumannya bahkan karakteristik orang-orangnya. Saya tidak ingin membandingkan atau nyama-nyamain keadaan Brazil dengan Indonesia. Tetapi, keadaan iklim dan aneka makanan dan minuman yang mirip, membantu saya untuk mengatasi culture shock yang kadarnya rendah.

Bekunjung ke kota tua, Olinda

Pameran kerajinan tangan sedunia ini sebenarnya digelar di Convention Center kota Olinda. Olinda artinya ´cantik´ dalam bahasa portugis. Di siang hari, saya menyempatkan berjalan-jalan di kota tua Olinda bersama Jane dan Alberto.

Convention Center Olinda.

Olinda Kota Tua ini sangat indah di siang ataupun di malam hari. Bentuk fisik ruas jalan yang tertata rapi dan bersih serta jalanan bebatuan ini  menjadi daya tarik tersendiri. Juga bentuk fisik bangunannya yang memang bergaya kolonial. Dari sudut kota tua, terlihat indahnya pantai Olinda.

Suasana kota tua Olinda di malam hari.

Bersama Jane dan Alberto dengan latar belakang pantai Olinda.

Tidak terasa masa tinggal 15 hari di Recife dan Olinda berlalu. Pameran juga berjalan lancar, walaupun capek fisik, tetapi hati riang, hihi. Saya pun mengepak barang-barang menuju Bucharest, Rumania. Iya, ini perjalanan yang tidak nyambung. Tetapi, apa boleh buat. Profesi saya sebagai marketing internasional mengharuskan terbang kesana kemari dan hidup nomaden. Koper adalah teman setia saya.

Pernambuco itu...

  • Adalah nama Propinsi atau Negara Bagian di Brazil Utara. Recife adalah ibukota Propinsi tersebut. 

  • Pele, bintang sepakbola legendaris Brazil bahkan dunia berasal dari Propinsi Pernambuco. Oleh karena itu, berbicara sepakbola di Propinsi Pernambuco adalah hal yang sakral.
  • Terkenal dengan karnaval setiap awal bulan februari dan merupakan salah satu terbesar di Brazil setelah Rio de Janeiro.
Salah satu parade khas Pernambuco.

  • Bukan bermaksud rasis, penduduk Brazil Utara ini didominasi oleh penduduk berkulit hitam manis. Saya akan mengetahui demografi penduduknya setelah berpetualang ke Brazil tengah dan utara. Cara berbicara mereka juga berbeda dengan akses yang berbeda pula.




Pose bersama penduduk Pernambuco yang menampilkan karya seni mereka.

Penting! Sebelum berkunjung ke Brazil:

  1. Untuk WNI, tentunya memerlukan visa Brazil.
  2. Diwajibkan untuk melakukan vaksinasi Yellow Fever sebelum menginjakkan kaki di Brazil. Pastikan kita melakukan vaksin, karena ketika tiba di bandara dan kita menunjukkan kartu vaksinasi, mereka berhak untuk tidak menerbangkan kita. Atau pengalaman saya dari Paramaribo (Suriname), para penumpang yang menuju Brazil dan tidak memiliki kartu vaksinasi Yellow Fever, dikenakan denda cukup banyak dalam jumlah ribuan dollar amerika. Saat ini yang saya tau, kebanyakan bandara internasional menyediakan jasa vaksinasi yellow fever. Kalau menurut saya, sih, sebaiknya kita melakukan vaksinasi belasan hari sebelum keberangkatan, untuk menghindari kondisi tubuh yang kliyengan akibat vaksin.
  3. Siapkan fisik dan mental kita menuju Brazil. Tidak perlu mendengar komentar orang atau membaca berita negatif tentang Brazil. Yang penting adalah kita selalu waspada dan menjaga diri serta tidak mengundang orang untuk berbuat jahat. Di seluruh dunia bagian manapun, kejahatan pasti ada, tergantung kadarnya. 
  4. Sebaiknya membaca dan menyiapkan buku panduan untuk menetapkan pilihan berkunjung ke daerah atau kota mana saja. Brazil adalah negara yang sangat luas dengan kekayaan alam dan pemandangannya yang sangat indah. 
       Boa Viagem!

(      (Recife - Olinda, November 2007)
        
       Peta: google
       Lay out: LGN





Kamis, 13 Desember 2012

VIII. 6. Bolivia (2): Mengenal Budaya Latin Lebih Jauh

Letak geografis Bolivia

Perjalanan panjang untuk tiba di Bolivia dengan transit di 2 negara (Brazil dan Paraguay) dan berganti pesawat di 3 kota (Belém, Sao Paolo dan Asunción), akhirnya terbayarkan tiba dengan selamat tanpa kekurangan apapun.


Terdamparnya saya di Santa Cruz de la Sierra adalah untuk berpartisipasi dalam salah satu acara pemeran. Letaknya pameran yang tidak terlalu jauh dari pusat kota, jadi saya memilih untuk tinggal di hotel yang terletak di pusat kota.

Salah satu sudut kota Santa Cruz

Perjalanan menuju hotel, stuck di taksi karena ada tawuran

Setelah keluar dari imigrasi, saya menumpang taksi menuju hotel di pusat kota. Udara kota Santa Cruz sangat panas dan lembab bahkan berdebu. Walaupun demikian, saya menikmati pemandangan sepanjang perjalanan.

Tiba-tiba taksi berhenti dan ada kemacetan namun sepertinya banyak orang berlari-lari. Waduh, ada apa ini, batin saya? Ternyata ada tawuran antar kelompok dan mereka saling lempar batu. Betapa kaget dan paniknya saya. Dengan bahasa spanyol seadanya waktu itu, saya bertanya kepada pak supir taksi apa yang terjadi. Dengan tenangnya, dia menjawab bahwa ada tawuran antar warga dan tidak perlu kuatir, tidak berlangsung lama. What?? Ini saya baru landing, lho…dan baru pertama kali menjejakkan kaki di kota ini, di negara ini, lho. Ya, ampun, akan ada kejutan apalagi, ini? batin saya. 

Ketakutan pun muncul. Refleks saya berlindung di balik jok pak supir sambil melindungi kepala dengan kedua tangan, sambil membatin: kota macam apa ini? Negara macam apa ini? Kenapa, kok, saya mau-maunya dikirim kesini. Gemetar.

Berbagai macam doa untuk meminta perlindungan pun keluar dengan sendirinya. Tak lama memang taksi melanjutkan perjalanan dan kemacetan terurai dengan sendiri. Rasa takut dan gemetar pun lama-lama hilang dengan sendirinya.

Tak lama, saya tiba di hotel. Pak supir pun membantu mengangkat 2 koper super berat ke lobi sembari meminta maaf atas kejadian tadi. Dia berharap masa tinggal saya di Santa Cruz akan menyenangkan. 

Ya. Semoga.

Kenalan dengan Ines

Saat menginjakkan Santa Cruz de la Sierra, saya sudah mengantongi nama Ines, wanita paruh baya yang memang tinggal di Santa Cruz. Adalah kolega kerja saya bernama Indra yang bertemu Ines di Bogotá dan memberitahu bahwa saya akan berada di Santa Cruz dalm waktu dekat. Ines pun menawarkan kepada Indra agar saya mengontaknya dan bersedia menemani selama di Santa Cruz. Antara Indra dan Ines adalah pertemuan tak sengaja yang membawa dampak positif akan perjalanan saya ini.

Ketika pameran berjalan beberapa hari, akhirnya saya memberanikan diri mengontak Ines. Tadinya saya ragu karena nggak enak dan tidak kenal langsung. Ines pun menyambut baik telepon saya. Sesuai janjinya, Ines pun datang ke hotel tempat saya menginap dan mengantar pula ke tempat pameran berlangsung. 

Saya mengenalkan Ines ke teman-teman peserta pameran Indonesia. Dengan ramahnya, Ines mengundang kami makan siang bersama di rumahnya. 

Dan kebetulan sekali tidak bentrok dengan jadwal pameran yang berlangsung dari jam 5 sore sampai jam 12 malam. Jadwal yang aneh. Tetapi, jadwal aneh ini akan saya sering temui di berbagai pemeran di Brazil yang terletak di kota-kota pinggir pantai.

Bertamu ke rumah Ines dan keluarganya.

Pada hari yang ditentukan, Ines pun menjemput kami dengan pak supir dan masing-masing mengendarai mobil besarnya. Ya, karena jumlah kami hampir 8 orang. Ketika menaiki mobil, Ines memberitahu bahwa letak rumahnya agak di pinggiran kota Santa Cruz de la Sierra.

Menuju ke rumahnya, jadi mengenal keadaan kota Santa Cruz. Mulai dari melewati pusat kota sampai alam pedesaan dan keadaan fisik jalanan yang lebih cocok untuk off road. Kami bertemu dengan segerombolan sapi yang hendak menyeberang yang dipandu oleh seseorang dengan menunggangi kuda. Seperti di film-film cowboy.

Dlm perjlnan menuju ke rumah Ines

Setelah melalui medan yang cukup berat, akhirnya kami tiba di rumah Ines. Rumah mewah dengan gaya arsitektur amerika latin (seperti yang saya lihat di beberapa telenovela) dan halaman yang sangat luas, membuat siapa pun betah untuk tinggal di situ.

Dengan ramah, Ines mempersilakan kami untuk memasuki rumahnya dan mengenalkan salah satu anak perempuannya, Carolina.

Bersama Carolina (kiri) dan sepupunya (kanan)

Kemudian kami diajak berkeliling rumahnya. Sepertinya rumah ini dirancang sekaligus menjadi tempat peristirahatan yang nyaman. Setelah puas berkeliling, kami pun santap siang bersama.

Menjelang sore, Ines pun mengantar kami kembali ke hotel. Saya pun mengucapkan terima kasih atas nama teman-teman yang saya atas kebaikan Ines menjamu kami. Kesan yang begitu dalam kepada salah satu penduduk kota Santa Cruz dan negara Bolivia itu sendiri, bahwa kami pun baru saling mengenal, tetapi sudah seperti saling mengenal bertahun-tahun. Saya pun tak lupa mengirim email kepada Indra untuk mengucapkan terima kasih karena sudah mengenalkan dan mempertemukan Ines dan saya.

Mencari oleh-oleh!

Setelah acara pameran yang berlangsung selama 10 hari selesai digelar, kami pun menyempatkan diri untuk membeli oleh-oleh khas Bolivia. Santa Cruz menyediakan pasar khusus oleh-oleh Bolivia yang tertata rapi. Wajah para penjual mirip sekali satu sama lain, hihi..

Berfoto dulu dng penjual oleh-oleh (kiri), saya, Bu Indah dan Budiman

Secuil pengamatan

Di kota Santa Cruz ini, cukup banyak turis dan bangsa pendatang. Contohnya, saya bertemu turis asal Swiss yang pernah mengunjungi Indonesia. Obrolan pun jadi nyambung. Si turis sedang menikmati penjelajahan amerika selatannya, mulai dari Argentina, Bolivia, Colombia dan Peru.

Lalu secara kebetulan, saya mencoba makan siang di salah satu restoran di dekat hotel yang dikelola oleh pasangan suami-istri asal Jerman yang membuka usaha restoran dengan musik live

Salah satu contoh makanan khas Santa Cruz.

Disini, nih, saya jadi mengetahui bahwa setiap kita makan di restoran, harus memberi tip minimal 20% dari total makanan dan minuman yang kita konsumsi. Tadinya, sih, saya pikir agak aneh karena di Indonesia maupun di Prancis, kita memberi tip sesukanya. Bahkan tidak memberikan tip juga tidak apa-apa karena harga makanan sudah termasuk pajak dan pelayanan restoran.

Nah, saya belajar dari pengalaman bersantap di restoran di negara ini bahwa kebanyakan negara amerika latin, para pelayan tidak mempunyai gaji yang cukup, sehingga mereka mengandalkan tambahan dari tip pengunjung restoran. Dan pemberian tip dengan presentasi tertentu berlaku juga di negara-negara amerika latin yang saya kunjungi.  

Masa tinggal di Bolivia pun berakhir. Sesuai harapan pak supir taksi yang mengantar saya dari bandara ke hotel di pusat kota, masa tinggal di kota ini begitu menyenangkan. Saya banyak mendapat pengalaman berharga dan beruntung bisa berkenalan, berbaur dengan penduduknya dan juga mengetahui kebiasaan-kebiasaan yang tidak biasa dari sudut pandang saya.

(Santa Cruz de la Sierra, sept 2007)
Untuk Indra, Ines dan keluarga yang berbaik hati


Rabu, 12 Desember 2012

VIII. 5. Bolivia (1): Dari Suriname melalui Brazil dan Paraguay

Siapa yang mengetahui letak Bolivia?


Setelah Suriname, saya pun diutus untuk mengunjungi Bolivia. Agar tidak seperti orang nyasar, acara buka peta dan membeli buku panduan pun saya lakukan.

Bolivia adalah salah satu negara di amerika latin yang diapit oleh 5 negara: Brazil, Peru, Chilie, Argentina dan Paraguay. Bolivia tidak memiliki laut, sama seperti Paraguay. Namun Bolivia memiliki Danau Titicaca yang merupakan danau tertinggi di dunia yang terletak dekat La Paz, ibukota Bolivia.


Ini dia letak Bolivia.

Ada 2 pilihan rute untuk menuju Bolivia…

Untuk bisa menjejakkan kaki di Santa Cruz de la Sierra, Bolivia, rempong-nya rute perjalanan yang harus ditempuh dari Paramaribo, Suriname. Ada 2 pilihan rute untuk tiba di Bolivia. Rute pertama, melewati Port of Spain (Tinidad and Tobago), lalu melewati Caracas (Venezuela) dan bermalam di Lima (Peru), kemudian langsung menuju Santa Cruz de la Sierra. Rute kedua melalui Belém (Brazil Utara) dan bermalam disana kemudian melanjutkan perjalanan untuk transit di Sao Paolo (Brazil) dan melewati Asunción (Paraguay), kemudian langsung menuju Santa Cruz de la Sierra. Saya pun memilih jalur kedua: Paramaribo – Belém (bermalam) – Sao Paolo – Asunción – Santa Cruz de la Sierra.

Paramaribo – Belem: menumpang pesawat baling-baling

Yang membuat jantung berdebar adalah ketika saya harus menaiki pesawat kecil yang ada baling-balingnya (jenis pesawatnya, apa, ya?) dari Paramaribo ke Belem dengan jarak tempuh hampir 4 jam. Jantung mau copot karena kami terbang tidak terlalu tinggi dan mesin pesawat amat sangat berisik. Sepanjang perjalanan, saya melihat dengan jelas pemandangan antara Suriname sampai Brazil utara. Indah sekali. Tak ketinggalan, turbulensi yang kencang membuat pesawat sedikit oleng.


Pesawat mungil dengan baling-baling yang membawa saya dari Paramaribo ke Belém.

Menjelang landing, saya tidak mendengar mesin pesawat yang berisik. Baling-balingnya pun terlihat jelas memperlambat lajut putarnya dari kaca jendela. Deg! Tiba-tiba saya merindukan bunyi mesin pesawat yang berisik. Pesawat pun berputar-putar dulu sebelum landing. Ingatan saya kembali pada landing pertama kali di Asunción, Paraguay (Juli 2007), pesawat berputar-putar di udara hampir 1 jam sebelum landing.

Berdoa dan berdoa pun jadi ritual menjelang landing. Para penumpang lain, terlihat tenang. Si bapak di ujung kursi selah kanan, tenang membaca surat kabar. Si ibu disamping saya santai mengunyah kacang. Lah, saya? Sibuk membaca ayat kursi.

Syukurlah akhirnya kami mendarat dengan selamat. Karena pesawat yang  kecil dan penumpang sedikit, saya memberanikan diri meminta izin berfoto bersama sang pilot. Lumayanlah, jadi kenang-kenangan.


Bersama sang pilot. Bando yang saya kenakan oleh-oleh dari tempat pameran.

Tiba di Belem, Brazil

Setelah turun dari pesawat dan melewati pemeriksaan imigrasi Brazil dan mengambil 2 bagasi yang super besar dan super berat, saya transit 1 malam sambil menunggu pesawat berikutnya yang mengantar saya ke Sao Paolo. 

Belém adalah kota di utara Brazil. Udaranya sangat panas dan lembab. Karena lelah yang terakumulasi, saya tidak mempunyai sisa tenaga untuk menikmati kota Belém dan memilih untuk tidur di hotel yang letaknya tidak jauh dari pusat kota. 

Keesokan paginya, baru saya menyempatkan untuk sarapan di salah satu sudut kota. Penduduk kota ini didominasi oleh penduduk Brazil berkulit gelap. Pelayan restoran yang ramah dan harga yang murah membuat saya betah duduk sejam lebih lama dari jadwal makan pagi pada umumnya. 

Penduduk Brazil memang beragam. Saya akan mengetahui bedanya nanti ketika saya menjelajah Brazil dari Belem sampai ke Florianopolis (Brazil selatan).

Setelah sarapan di tengah kota, saya melanjutkan perjalanan ke bandara Belem untuk menaiki pesawat menuju ke Sao Paolo. Jarak tempuh cukup lama: 4 jam.

Perjalanan dari Belem ke Sao Paolo berlangsung lancar dan aman terkendali. Setelah menunggu beberapa jam di bandara Sao Paolo, pesawat yang saya tumpangi transit dulu di Asunción (Paraguay), kemudian melanjutkan perjalanan ke Santa Cruz de la Sierra.


Sudut antrian taksi di bandara Santa Cruz de la Sierra

Akhirnyaaaaaa…tiba juga di Santa Cruz! Dios Mios!!* Perjalanan yang saya tempuh begitu melelahkan dari Paramaribo, Suriname. Rasa lelah terbayarkan dengan dilancarkannya perjalanan dan bersyukur 2 koper super besar dan super berat juga tiba dengan utuh, tidak dibongkar atau hilang.

Bienvenida en Bolivia! **

(Santa Cruz de la Sierra, september 2007)

Keterangan:
* Ya, Tuhanku (bahasa spanyol)
** Selamat datang di Bolivia (bahasa spanyol)

Minggu, 09 Desember 2012

VIII. 4. Suriname: Mutiara Jawa di Amerika Selatan

Perjalanan menjelajah amerika latin yang kedua adalah mengunjungi Paramaribo, ibukota Suriname. Negara yang berbahasa resmi Belanda di bagian utara benua amerika latin ini  terletak di antara negara Guyana Prancis dan Guyana Belanda. Atas undangan KBRI Paramaribo, saya dan beberapa pengusaha berpartisipasi dalam acara Indo Fair yang memang digelar setiap tahunnya yang penuh dengan malam kesenian Indonesia, barang-barang kerajinan dan aneka makanan khas Indonesia. Tentunya acara ini mengobati rasa rindu tanah air untuk para penduduk Suriname yang berdarah Indonesia.

Letak goegrafis Suriname.

Menginjakkan kaki di Paramaribo seperti menggunakan mesin waktu:  suasananya seperti keadaan kota-kota di Jawa di tahun 60 atau 70an (seperti yang saya pernah lihat di film-film nasional yang mengambil setting di Jawa). Keadaannya masih alami, sepi, banyak lahan terbuka, rata-rata rumah dibangun di atas tanah yang luas dengan halaman rumah yang luas pula. Iklim pada saat saya datang itu panasnya minta ampun dan sangat lembab.

Salah satu contoh suasana Paramaribo.

Dilihat dari demografinya, penduduk Suriname kebanyakan adalah bangsa imigran, salah satunya adalah transmigrasi penduduk Jawa yang dilakukan oleh bangsa Belanda untuk dijadikan kuli kontrak di akhir abad ke-19 sampai permulaan abad ke-20. Semakin saya merasa terbang ke Pulau Jawa, bukan ke Paramaribo yang jarak tempuh 9 jam dengan menaiki pesawat Surinam Airway dari Amsterdam. 

Surinam Airway yang membawa saya dari Amsterdam.

Selama acara Indo Fair berlangsung, beberapa rekan dan saya mendapat kesempatan siaran di Radio Bersama untuk mempromosikan acara Indo Fair. Wawancara radio riuh rendah menggunakan bahasa jawa, bahasa Indonesia dan bahasa belanda, yang dipandu oleh Pak Kadi Kartokromo dan Pak Roesman Darmahoetomo.

Setelah siaran di Radio Bersama.
Ki-ka: Pak Kadi Kartokromo, Pak Roesma Darmahoetomo, saya, Ketty Moentari

White Beach ala Paramaribo: Ada ikan piranha-nya, hiiiiiiiiii….

Setelah acara Indo Fair yang berlangsung 2 minggu selesai, saya diajak plesiran oleh Mas Cas, Mbak Kadek serta anak laki-laki mereka, Abe, yang waktu itu berusia 7 tahun. Pertama mereka mengajak saya ke White Beach atau Pantai Putih. Apa yang ada dibayangan Anda mendengar kata ´Pantai Putih?´. Ya, sama seperti saya: pantai indah dengan pasir putih, pohon kelapa di pinggir pantai dan air laut yang biru.

Suasana white Beach.

Ketika kami tiba, betapa kagetnya saya kalau si Pantai Putih ini tak lain adalah sebuah rawa yang ´disulap´ seperti pantai beneran. Memang ada pasir putihnya. Dan banyak orang berenang atau sekedar berendam setengah badan sambil bermain. Tapi, kok, airnya butek? Ya, iyalah, namanya juga rawa. Tapi namanya keren: White Beach.

Lalu, saya mengamati ada pagar kawat dipasang kira-kira 20 meteran dari garis pantai. Dalam hati bertanya, itu untuk apa, ya? Mungkin untuk menandakan batas berenang yang aman, pikir saya tanpa mau bertanya kepada Mas Casa tau Mbak Kadek.

Abe dan saya berpose sebelum sadar ada piranha. Hiii...

Well, akhirnya saya menerima kenyataan kenyataan si Pantai Putih tersebut dengan menikmati membasahi kaki saya terlebih dahulu disusul oleh Abe. Ketika kami mulai membasahi kaki sampai dengkul, terdengar teriakan Mas Cas: ´Hati-hati, jangan jauh-jauh sampai ke pagar kawat, kadang-kadang ada ikan piranha yang lolos masuk!´. Saya: What?? Buru-buru saya berlari panik keluar dari ´Pantai Putih´ diikuti Abe yang sambil tertawa terpingkal-pingkal.

Lah? Kok, orang-orang yang berenang dan berendam itu tidak takut digigit piranha? Kata Mas Cas: kalau di badan tidak ada luka, ya, nggak akan digigit. Hah? Biar kata tidak ada luka di seluruh badan. mending saya cari aman, deh, daripada kena colek piranha. Hiiiii....

Santai di bawah pohon kelapa.
Ki-Ka: Mas Cas, Mbak Kadek dan Abe.

Akhirnya, kami pun memilih beristirahat di pinggir pantai sambil menikmati es kelapa dan aneka cemilan yang dibawa Mbak Kadek dari rumah, bersama Mas Kadek dan Mas Cas. Sedangkan Abe dengan santainya dan riang-riang melanjutkan berenang. Saya masih tertawa geli sekaligus masih kaget dan sedikit panik atas kejadian tersebut.

Jembatan Wijdenbosch dan lumba-lumba yang tak kunjung muncul...
Setelah santai berpiknik di pinggir pantai, Mas Cas sekelurga mengajak saya melihat Jembatan Wijdenbosch, yang namanya berasal dari Presiden Suriname, Jules Wijdenbosch. Penduduk Suriname menyebutnya Jembatan ´Big Broki´ atau Big Bridge. Di jembatan yang cukup panjang ini, menurut cerita, ada lumba-lumba berenang dan muncul ke permukaan. Hari itu kami lagi sial, tidak tampak seekor pun lumba-lumba walaupun kami telah menunggu kurang lebih setengah jam. Belum rejeki dan si lumba-lumba masih malu-malu mungkin sliweran di dekat jembatan. 
Mana, ya, lumba-lumbanya

Benteng Bergaya Kolonial
Setelah harapan pupus tidak jadi say hello dengan lumba-lumba, Mas Cas melanjutkan laju mobilnya ke arah pusat kota di daerah Waterkant, dimana terdapat benteng peninggalan Belanda yang bernama Niew Fort. Penduduk Suriname menyebutnya Niew Foto. Keadaan dan suasana benteng ini seperti kompleks bangunan bergaya kolonial. Benar-benar mengingatkan akan gedung dan bangunan bersejarah di Kota Tua Jakarta.



Bertemu Oma Cip
Setelah cukup puas plesiran, Mas Cas melanjutkan laju mobilnya ke arah rumah Mbak Atun yang tidak jauh dari rumah Mas Cas sekeluarga. Di sana, saya bertemu dengan Tante Gin dan Oma Pesek atau Oma Cip. Oma Cip ini adalah panggilan populer karena memang pembuat chips atau keripik. Selama berkunjung singkat ke rumah Mbak Atun, berbagai cemilan dan teh hangat dihidangkan untuk menjamu kami.

Bertamu ke penduduk lokal
Ki-Ka: Tante gin, Oma Cip dan saya

Mbak Atun, Tante Gin dan Oma Pesek adalah contoh warga Suriname keturunan jawa yang ramah dengan siapa saja (terutama orang Indonesia) yang berkunjung ke Suriname. Mereka merasa seperti bertemu saudara jauh. 

Ya, penduduk Suriname yang keturunan Jawa yang saya temui sangat ramah, walaupun mereka tidak fasih berbahasa Indonesia. Mereka masih fasih berbahasa Jawa. Bahkan mereka berbahasa Belanda yang memang bahasa resmi nasional dengan logat Jawa yang masih kental. 

Menurut Mas Cas dan Mbak Kadek, tipikal orang Suriname keturunan Jawa memang begitu. Mereka sangat senang jika ada tamu datang dari Indonesia. Serasa bertemu keluarga yang hilang kontak di Indonesia. 

Ini cerita menarik dan mengharukan. Walaupun mereka fasih berbahasa jawa, memasak masakan Indonesia dan masih melestarikan kesenian tradisional jawa, tetapi kebanyakan dari mereka tidak pernah mengenal dan menginjakkan kakinya ke Jawa. Mereka mengenal semua itu dari orang tua dan sesepuh mereka yang memang masih melestarikan kebudayaan jawa di Suriname.

Perjalanan saya mengunjungi Paramaribo, ibukota Suriname meninggalkan kesan tersendiri. Seperti kembali ke kampung halaman dan bertemu kangen dengan saudara jauh. Sayangnya saya tidak bisa tinggal lebih lama lagi disana karena harus melanjutkan perjalanan ke Santa Cruz de La Sierra, Bolivia.

(Paramaribo, Suriname, Sept 2007. Matur nuwun Mas Cas, Mbak Kadek, Abe, dan keluarga Jawa disana)

Peta: google
Layout: LGN

Jumat, 07 Desember 2012

VIII. 3. Paraguay (2) : Belajar Memahami Karakter Orang Latin

Setelah menempuh perjalanan yang hampir bikin jantung copot, akhirnya saya menginjakkan kaki di Asunción. Ibukota Paraguay ini mempunyai nama yang panjang: Nuestra Señora Santa María de la Asunción.


Melewati imigrasi yang tidak terlalu ramai dan pengambilan bagasi yang terbilang cepat, saya langsung menuju Expo Paraguay di Ruta Transachao Km. 14 Mariano Roque Alonso, yang berjarak kurang lebih 8 km dari bandara dengan menggunakan taksi. Waktu tempuh cepet banget, hanya 15 menit kemudian sampai.

Pak supir taksi yang bernama Carlos dengan baiknya mengantar saya melewati pintu gerbang tiket dimana sebenarnya saya tidak berhak masuk karena tidak mempunyai tiket atau identitas expositor. Tetapi Carlos meyakinkan ke petugasnya. Dengan koper dan beberapa printilan bawaan, Carlos mengantar saya sampai ke paviliun Indonesia.

Di paviliun yang cukup besar, kami diberikan tempat kehormatan oleh penyelenggara pameran khusus ´Paviliun Indonesia´. Para peserta pameran sudah tampak semua disana.

Pameran ini berlangsung selama 15 hari (3 kali akhir pekan), yang berlangsung dari pukul 10 pagi sampai pukul 8 malam. Karena waktu yang padat, saya tidak sempat berkeliling pameran yang sangat luas bahkan tidak sempat berjalan-jalan di kota. Saya hanya sempat berfoto-foto di depan sebuah gedung di pusat kota, di dekat hotel kami menginap.

Berpose di pusat kota Asunción

Setelah beberapa hari tinggal di Asunción, saya pun mulai mengenal kota ini dikit demi sedikit. Penduduknya ramah, makanan juga enak dan cocok dengan lidah orang Indonesia. Juga tersedia kantin-restoran yang menyediakan masakan prasmanan, lalu ada aneka daging panggang dan aneka salad.

Yang menarik perhatian saya adalah mayoritas penduduknya membawa termos teh kemana-mana. Itu adalah minuman khas daerah amerika latin dan populer di Paraguay, Argentina, Brazil Selatan dan Uruguay. Rasa teh-nya sangat khas. Kalo saya bilang, sih, seperti ramuan jamu. Sayang saya tidak punya stok fotonya.

Berbicara makanan dan minuman, yang menarik juga adalah penduduk Paraguay yang masih menggunakan dialek lokal, Guarani. Walaupun bahasa resmi nasional mereka adalah spanyol.

Selain itu, beberapa imigran yang berasal dari Lebanon dan negara-negara timur tengah serta dari Jerman, hidup rukun bercampur dengan penduduk lokal. Wajah mereka bisa dikatakan khas.

Di pameran yang berlangsung selama 15 hari, saya banyak bertemu dengan penduduk lokal. Salah satunya adalah Samir dan orang tuanya yang mempunyai bisnis di bidang kerajinan. Mereka tertarik dengan produk Indonesia. Saat itu, orang tua Samir mengatakan bahwa sang anak mempunyai minat yang tinggi untuk belajar bahasa. Mereka bermaksud mengirim Samir ke Prancis, Obrolan pun menjadi luas. Sampai sekarang, kami tetap menjalin pertemanan dengan Samir melalui Facebook.


Selain Samir, ada Denis. Denis bekerja di hotel kami menginap di pusat kota. Kami yang berjumlah 20an orang cukup membuat panik Denis dengan aneka pertanyaan dan permintaan. Karena Denis  yang ramah dan berbahasa inggris, akhirnya, obrolan pun berlangsung lancar. Denis pula yang menyediakan pemanas di ruang kamar hotel. Pada saat kami datang di bulan juli 2007, cuaca di Asunción terang benderang dan panasnya minta ampun. Beberapa hari kemudian, cuaca berubah seperti winter.

Pada saat pameran berlangsung pun, banyak saya temui pengunjung dari berbagai negara. Salah satunya adalah Heidi, yang warga negara Prancis dan tinggal di Paris. Tepatnya tinggal di satu kelurahan dimana Tasha dan saya berbagi apartemen. Oh, dunia begitu kecilnya. Kami pun bertukar email dan saling kontak.

Selama pameran berlangsung dan dengan banyaknya pengunjung, saya pun memerhatikan gaya dandanan para wanita latin. Wajah mereka bermacam-macam. Ada percampuran indian dan eropa, yang populer disebut metisse. Ada yang benar-benar bule seperti orang eropa bahkan juga ada wajah seperti yang sering kita lihat di telenovela.

Ada pesan moral yang tidak saya lupakan dan terus saya jadikan pegangan untuk perjalanan ke negara-negara amerika latin selanjutnya. Sebagian besar atau mayoritas, omongan mereka tidak bisa dipercaya dan tidak bisa dipegang. Walaupun pasti ada, dong, yang baik hati dan jujur serta memegang ucapannya. Tetapi, disini, nih, saya mulai belajar karakter orang latin. Walaupun tidak adil jika anggap sama semua, tetapi hal ini penting karena akan menjadi barometer di perjalanan saya selanjutnya mengarungi benua amerika latin.

Well, berhadapan dengan orang latin yang mempunyai karakter yang berbeda menjadi tantangan tersendiri bagaimana kita menghadapi mereka dengan kepala dingin dan yang paling penting: harus sabar tapi tetap punya prinsip.

Tak terasa masa tinggal di Asunción segera berakhir. Kami pun kukut barang dan siap meninggalkan kota cantik ini, untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya: Suriname.

Asunción, Juli 2007
Peta: google.
Layout: LGN.

Selasa, 04 Desember 2012

VIII. 2. Paraguay (1) : On the way to Asunción: Hello..anybody speaks english in this plane?

Ini dia letak Paraguay, yang diapit oleh Brazil, Argentina dan Bolivia.

Adalah kota Asuncion, ibukota Paraguay, Amerika Selatan yang menjadi negara pertama yang saya kunjungi di benua amerika latin. 

Di manakah letak Paraguay itu sendiri? 

Acara buka peta, browsing dan membeli buku paduan adalah hal yang pertama saya lakukan sebelum berangkat. Paraguay dan tetangganya, Bolivia adalah dua negara di benua amerika latin yang tidak dikelilingi garis pantai dan tidak memiliki laut. Sisanya (dan sebagian besar), seperti Brazil, Argentina, Uruguay, Chilie, Peru, Colombia, Equador, Venezuela, Suriname, Guayana Prancis dan Guyana Belanda adalah negara-negara yang memiliki garis pantai dan laut yang indah.


Mencari tiket keberangkatan di internet menuju Asunción bukanlah hal mudah, karena tidak ada rute pesawat yang langsung menuju Asunción dari Paris. Hampir semua penerbangan menawarkan transit di Sao Paolo (Brazil), di Buenos Aires (Argentina) atau di Montevideo (Uruguay), lalu berganti pesawat menuju Paraguay. Pilihan jatuh kepada transit di Sao Paolo. Alasannya, selain harga tiket yang lebih murah, jarak tempuh pun hemat hampir 2 jam dengan rute Paris – Sao Paolo dibandingkan terbang dari Paris - Buenos Aires atau dari Paris  - Montevideo.

Perjalanan pertama ini hampir bikin jantung copot dan adrenalin berpacu. Bagaimana tidak? Dengan banyaknya turbulensi ketika menyeberangi Lautan Atlantik, sukses membuat saya tidak bisa tidur dan tenang selama di dalam pesawat. Turbulensi di atas Lautan Atlantik lebih dahsyat daripada turbulensi yang pernah saya alami. Saya merasa bagian bawah pesawat seperti ditarik ke laut. Hiiiiiiii…Disini, nih, tak henti-hentinya semua penumpang cemas dan banyak berdoa. Anak-anak jejeritan dan beberapa bayi menangis karena kaget dengan efek turbulensi. Berbeda dengan para pamugara dan pramugari yang menebar senyum seraya menenangkan para penumpang. Udah biasa, kali, ye, mereka naik roller coaster, eh, merasakan turbulensi maksudnya.

Uffff…akhirnya kami landing dengan selamat di Sao Paolo!
Setelah menempuh 9 jam perjalanan udara. Saya transit di airport Sao Paolo kira-kira 3 jam untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya yang membawa ke Asuncion. Untuk transit di Sao Paolo, pemegang paspor Indonesia tidak perlu mengurus visa transit.

Kejadian mengagetkan ketika petugas imigrasi memeriksa paspor saya. Katanya, selama tugas di bandara Sao Paolo, baru sekali memeriksa penumpang asal Indonesia. Bo? Situ serius? Sampai saya ditanya letak geografis Indonesia, apakah pantai-pantainya indah sampai pertanyaan makanan asli Indonesia. Duh, saya jadi merasa jadi duta bangsa untuk menyampaikan informasi dengan benar. Ehmm

Tapi, ada, nih, pertanyaan pertama dan akan sering mampir di kuping saya dan di lain kesempatan jadi ogah ngejawabnya: ngapain ke amerika latin? Kan jauh dari negara lo. Butuh waktu terbang yang lama dan perjalanan panjang di pesawat. Hmmm...

Setelah melalui imigrasi dan wawancara kecil-kecilan yang untungnya tidak memakan waktu lama, perjalanan dari Sao Paolo ke Asuncion ´hanya´ 2 jam. Pesawat pun ukurannya lebih kecil, serta tidak ada turbulensi. 

Aman, nih, pikir saya. 

Lah? 

Tapi kok, kami tidak mendarat ketika sang pilot mengumumkan bahwa pesawat dalam posisi siap mendarat 30 menit lalu. Posisi pesawat berputar-putar di atas airport. Wah, ada yang nggak beres, nih. Saya baru ngeh ketika para penumpang tidak ada yang bersuara, wajah mereka kelihatan tegang setelah pilot berbicara memberitahukan pemberitahuan. Sialnya, si pilot menggunakan bahasa portugis dan spanyol. Saya belum menguasai kedua bahasa tersebut dengan baik.

View dari dalam pesawat.

Saya pun nekat bertanya ke bapak-bapak penumpang yang duduk di sebelah saya dalam bahasa inggris: ´Ada apa, sih? Kok pesawat nggak landing?´. Si bapak menjawab dengan mimik bingung: ´no ingles*. Saya (membatin): well, hari gini, bahasa inggris nggak berlaku untuk orang-orang latin. Bertanya dalam bahasa prancis? Kayaknya si bapak di samping pasti ingin melempar saya ke luar pesawat.

Nekat. 

Saya pun berdiri dan bertanya ke salah satu pramugari yang duduk di dekat pintu darurat, dalam bahasa inggris: ´Ada apa, sih. Kok semua diam?´. Si pramugari dengan galak dan berbahasa inggris, meminta saya duduk kembali dan mengencangkan sabuk pengaman. Nah, lho

Tunggu punya tunggu, setelah sejam lebih penuh kecemasan dan ketidakpastian, kami berhasil landing dengan selamat. Air muka para penumpang terlihat segar kembali. Bahkan banyak di antara mereka yang berkata: Graças a deus** ¡Gracias a Dios!***

Arrrgghhh…saya tidak mendengar ´Thank God´. 

Semua penumpang di dalam pesawat ini tidak ada yang berbahasa inggris-kah, selain si mbak-mbak pramugari yang agak judes?

Setelah pesawat parkir dan para penumpang akan turun, saya tetap tidak menemukan jawaban yang pasti penyebab kami berputar-putar sebelum mendarat. Kembali saya bertanya kepada salah satu pramugari. Dia hanya menjawab singkat dalam bahasa inggris: ¨Tadi ada sedikit masalah dengan roda pesawat¨. Hanya itu. Dan dia pun enggan menjelaskan lebih lanjut. Ya, ampuuuuuunnn...

Dari jawaban singkat tadi, saya pun menenangkan diri sendiri dan berusaha tidak menciptakan pikiran yang nggak-nggak, yang nantinya akan membuat takut diri sendiri dan tentunya juga akan merugikan diri sendiri. Misalnya: jangan-jangan roda pesawatnya tadi nggak keluar. Atau jangan-jangan ada bom di airport tujuan atau mesin pesawat sempat mati sehingga sang pilot berusaha sedemikian rupa untuk menghidupkannya kembali.

Dan saya pun berusaha menghapus semua kekhawatiran itu dari kepala. Apalagi ini perjalanan pertama menginjakkan kaki di amerika latin. Jadi, sebaiknya, saya berpikir positif saja dan menyambut petualangan ini dengan suka cita. Karena, di perjalanan selanjutnya, banyak yang hal yang membuat jantung harus kerja ekstra keras menerima kejutan.

Bienvenida en america del sur!****

(Asunción, Paraguay, Juli 2007)

Keterangan:
*tidak berbahasa  inggris (bahasa spanyol)
**Terima kasih, Tuhan (bahasa Portugis)
***Terima kasih, Tuhan (bahasa spanyol)
****¡Selamat datang di amerika selatan! (bahasa spanyol)

Lay out peta: LGN