Like

Tampilkan postingan dengan label Bolivia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bolivia. Tampilkan semua postingan

Kamis, 13 Desember 2012

VIII. 6. Bolivia (2): Mengenal Budaya Latin Lebih Jauh

Letak geografis Bolivia

Perjalanan panjang untuk tiba di Bolivia dengan transit di 2 negara (Brazil dan Paraguay) dan berganti pesawat di 3 kota (Belém, Sao Paolo dan Asunción), akhirnya terbayarkan tiba dengan selamat tanpa kekurangan apapun.


Terdamparnya saya di Santa Cruz de la Sierra adalah untuk berpartisipasi dalam salah satu acara pemeran. Letaknya pameran yang tidak terlalu jauh dari pusat kota, jadi saya memilih untuk tinggal di hotel yang terletak di pusat kota.

Salah satu sudut kota Santa Cruz

Perjalanan menuju hotel, stuck di taksi karena ada tawuran

Setelah keluar dari imigrasi, saya menumpang taksi menuju hotel di pusat kota. Udara kota Santa Cruz sangat panas dan lembab bahkan berdebu. Walaupun demikian, saya menikmati pemandangan sepanjang perjalanan.

Tiba-tiba taksi berhenti dan ada kemacetan namun sepertinya banyak orang berlari-lari. Waduh, ada apa ini, batin saya? Ternyata ada tawuran antar kelompok dan mereka saling lempar batu. Betapa kaget dan paniknya saya. Dengan bahasa spanyol seadanya waktu itu, saya bertanya kepada pak supir taksi apa yang terjadi. Dengan tenangnya, dia menjawab bahwa ada tawuran antar warga dan tidak perlu kuatir, tidak berlangsung lama. What?? Ini saya baru landing, lho…dan baru pertama kali menjejakkan kaki di kota ini, di negara ini, lho. Ya, ampun, akan ada kejutan apalagi, ini? batin saya. 

Ketakutan pun muncul. Refleks saya berlindung di balik jok pak supir sambil melindungi kepala dengan kedua tangan, sambil membatin: kota macam apa ini? Negara macam apa ini? Kenapa, kok, saya mau-maunya dikirim kesini. Gemetar.

Berbagai macam doa untuk meminta perlindungan pun keluar dengan sendirinya. Tak lama memang taksi melanjutkan perjalanan dan kemacetan terurai dengan sendiri. Rasa takut dan gemetar pun lama-lama hilang dengan sendirinya.

Tak lama, saya tiba di hotel. Pak supir pun membantu mengangkat 2 koper super berat ke lobi sembari meminta maaf atas kejadian tadi. Dia berharap masa tinggal saya di Santa Cruz akan menyenangkan. 

Ya. Semoga.

Kenalan dengan Ines

Saat menginjakkan Santa Cruz de la Sierra, saya sudah mengantongi nama Ines, wanita paruh baya yang memang tinggal di Santa Cruz. Adalah kolega kerja saya bernama Indra yang bertemu Ines di Bogotá dan memberitahu bahwa saya akan berada di Santa Cruz dalm waktu dekat. Ines pun menawarkan kepada Indra agar saya mengontaknya dan bersedia menemani selama di Santa Cruz. Antara Indra dan Ines adalah pertemuan tak sengaja yang membawa dampak positif akan perjalanan saya ini.

Ketika pameran berjalan beberapa hari, akhirnya saya memberanikan diri mengontak Ines. Tadinya saya ragu karena nggak enak dan tidak kenal langsung. Ines pun menyambut baik telepon saya. Sesuai janjinya, Ines pun datang ke hotel tempat saya menginap dan mengantar pula ke tempat pameran berlangsung. 

Saya mengenalkan Ines ke teman-teman peserta pameran Indonesia. Dengan ramahnya, Ines mengundang kami makan siang bersama di rumahnya. 

Dan kebetulan sekali tidak bentrok dengan jadwal pameran yang berlangsung dari jam 5 sore sampai jam 12 malam. Jadwal yang aneh. Tetapi, jadwal aneh ini akan saya sering temui di berbagai pemeran di Brazil yang terletak di kota-kota pinggir pantai.

Bertamu ke rumah Ines dan keluarganya.

Pada hari yang ditentukan, Ines pun menjemput kami dengan pak supir dan masing-masing mengendarai mobil besarnya. Ya, karena jumlah kami hampir 8 orang. Ketika menaiki mobil, Ines memberitahu bahwa letak rumahnya agak di pinggiran kota Santa Cruz de la Sierra.

Menuju ke rumahnya, jadi mengenal keadaan kota Santa Cruz. Mulai dari melewati pusat kota sampai alam pedesaan dan keadaan fisik jalanan yang lebih cocok untuk off road. Kami bertemu dengan segerombolan sapi yang hendak menyeberang yang dipandu oleh seseorang dengan menunggangi kuda. Seperti di film-film cowboy.

Dlm perjlnan menuju ke rumah Ines

Setelah melalui medan yang cukup berat, akhirnya kami tiba di rumah Ines. Rumah mewah dengan gaya arsitektur amerika latin (seperti yang saya lihat di beberapa telenovela) dan halaman yang sangat luas, membuat siapa pun betah untuk tinggal di situ.

Dengan ramah, Ines mempersilakan kami untuk memasuki rumahnya dan mengenalkan salah satu anak perempuannya, Carolina.

Bersama Carolina (kiri) dan sepupunya (kanan)

Kemudian kami diajak berkeliling rumahnya. Sepertinya rumah ini dirancang sekaligus menjadi tempat peristirahatan yang nyaman. Setelah puas berkeliling, kami pun santap siang bersama.

Menjelang sore, Ines pun mengantar kami kembali ke hotel. Saya pun mengucapkan terima kasih atas nama teman-teman yang saya atas kebaikan Ines menjamu kami. Kesan yang begitu dalam kepada salah satu penduduk kota Santa Cruz dan negara Bolivia itu sendiri, bahwa kami pun baru saling mengenal, tetapi sudah seperti saling mengenal bertahun-tahun. Saya pun tak lupa mengirim email kepada Indra untuk mengucapkan terima kasih karena sudah mengenalkan dan mempertemukan Ines dan saya.

Mencari oleh-oleh!

Setelah acara pameran yang berlangsung selama 10 hari selesai digelar, kami pun menyempatkan diri untuk membeli oleh-oleh khas Bolivia. Santa Cruz menyediakan pasar khusus oleh-oleh Bolivia yang tertata rapi. Wajah para penjual mirip sekali satu sama lain, hihi..

Berfoto dulu dng penjual oleh-oleh (kiri), saya, Bu Indah dan Budiman

Secuil pengamatan

Di kota Santa Cruz ini, cukup banyak turis dan bangsa pendatang. Contohnya, saya bertemu turis asal Swiss yang pernah mengunjungi Indonesia. Obrolan pun jadi nyambung. Si turis sedang menikmati penjelajahan amerika selatannya, mulai dari Argentina, Bolivia, Colombia dan Peru.

Lalu secara kebetulan, saya mencoba makan siang di salah satu restoran di dekat hotel yang dikelola oleh pasangan suami-istri asal Jerman yang membuka usaha restoran dengan musik live

Salah satu contoh makanan khas Santa Cruz.

Disini, nih, saya jadi mengetahui bahwa setiap kita makan di restoran, harus memberi tip minimal 20% dari total makanan dan minuman yang kita konsumsi. Tadinya, sih, saya pikir agak aneh karena di Indonesia maupun di Prancis, kita memberi tip sesukanya. Bahkan tidak memberikan tip juga tidak apa-apa karena harga makanan sudah termasuk pajak dan pelayanan restoran.

Nah, saya belajar dari pengalaman bersantap di restoran di negara ini bahwa kebanyakan negara amerika latin, para pelayan tidak mempunyai gaji yang cukup, sehingga mereka mengandalkan tambahan dari tip pengunjung restoran. Dan pemberian tip dengan presentasi tertentu berlaku juga di negara-negara amerika latin yang saya kunjungi.  

Masa tinggal di Bolivia pun berakhir. Sesuai harapan pak supir taksi yang mengantar saya dari bandara ke hotel di pusat kota, masa tinggal di kota ini begitu menyenangkan. Saya banyak mendapat pengalaman berharga dan beruntung bisa berkenalan, berbaur dengan penduduknya dan juga mengetahui kebiasaan-kebiasaan yang tidak biasa dari sudut pandang saya.

(Santa Cruz de la Sierra, sept 2007)
Untuk Indra, Ines dan keluarga yang berbaik hati


Rabu, 12 Desember 2012

VIII. 5. Bolivia (1): Dari Suriname melalui Brazil dan Paraguay

Siapa yang mengetahui letak Bolivia?


Setelah Suriname, saya pun diutus untuk mengunjungi Bolivia. Agar tidak seperti orang nyasar, acara buka peta dan membeli buku panduan pun saya lakukan.

Bolivia adalah salah satu negara di amerika latin yang diapit oleh 5 negara: Brazil, Peru, Chilie, Argentina dan Paraguay. Bolivia tidak memiliki laut, sama seperti Paraguay. Namun Bolivia memiliki Danau Titicaca yang merupakan danau tertinggi di dunia yang terletak dekat La Paz, ibukota Bolivia.


Ini dia letak Bolivia.

Ada 2 pilihan rute untuk menuju Bolivia…

Untuk bisa menjejakkan kaki di Santa Cruz de la Sierra, Bolivia, rempong-nya rute perjalanan yang harus ditempuh dari Paramaribo, Suriname. Ada 2 pilihan rute untuk tiba di Bolivia. Rute pertama, melewati Port of Spain (Tinidad and Tobago), lalu melewati Caracas (Venezuela) dan bermalam di Lima (Peru), kemudian langsung menuju Santa Cruz de la Sierra. Rute kedua melalui Belém (Brazil Utara) dan bermalam disana kemudian melanjutkan perjalanan untuk transit di Sao Paolo (Brazil) dan melewati Asunción (Paraguay), kemudian langsung menuju Santa Cruz de la Sierra. Saya pun memilih jalur kedua: Paramaribo – Belém (bermalam) – Sao Paolo – Asunción – Santa Cruz de la Sierra.

Paramaribo – Belem: menumpang pesawat baling-baling

Yang membuat jantung berdebar adalah ketika saya harus menaiki pesawat kecil yang ada baling-balingnya (jenis pesawatnya, apa, ya?) dari Paramaribo ke Belem dengan jarak tempuh hampir 4 jam. Jantung mau copot karena kami terbang tidak terlalu tinggi dan mesin pesawat amat sangat berisik. Sepanjang perjalanan, saya melihat dengan jelas pemandangan antara Suriname sampai Brazil utara. Indah sekali. Tak ketinggalan, turbulensi yang kencang membuat pesawat sedikit oleng.


Pesawat mungil dengan baling-baling yang membawa saya dari Paramaribo ke Belém.

Menjelang landing, saya tidak mendengar mesin pesawat yang berisik. Baling-balingnya pun terlihat jelas memperlambat lajut putarnya dari kaca jendela. Deg! Tiba-tiba saya merindukan bunyi mesin pesawat yang berisik. Pesawat pun berputar-putar dulu sebelum landing. Ingatan saya kembali pada landing pertama kali di Asunción, Paraguay (Juli 2007), pesawat berputar-putar di udara hampir 1 jam sebelum landing.

Berdoa dan berdoa pun jadi ritual menjelang landing. Para penumpang lain, terlihat tenang. Si bapak di ujung kursi selah kanan, tenang membaca surat kabar. Si ibu disamping saya santai mengunyah kacang. Lah, saya? Sibuk membaca ayat kursi.

Syukurlah akhirnya kami mendarat dengan selamat. Karena pesawat yang  kecil dan penumpang sedikit, saya memberanikan diri meminta izin berfoto bersama sang pilot. Lumayanlah, jadi kenang-kenangan.


Bersama sang pilot. Bando yang saya kenakan oleh-oleh dari tempat pameran.

Tiba di Belem, Brazil

Setelah turun dari pesawat dan melewati pemeriksaan imigrasi Brazil dan mengambil 2 bagasi yang super besar dan super berat, saya transit 1 malam sambil menunggu pesawat berikutnya yang mengantar saya ke Sao Paolo. 

Belém adalah kota di utara Brazil. Udaranya sangat panas dan lembab. Karena lelah yang terakumulasi, saya tidak mempunyai sisa tenaga untuk menikmati kota Belém dan memilih untuk tidur di hotel yang letaknya tidak jauh dari pusat kota. 

Keesokan paginya, baru saya menyempatkan untuk sarapan di salah satu sudut kota. Penduduk kota ini didominasi oleh penduduk Brazil berkulit gelap. Pelayan restoran yang ramah dan harga yang murah membuat saya betah duduk sejam lebih lama dari jadwal makan pagi pada umumnya. 

Penduduk Brazil memang beragam. Saya akan mengetahui bedanya nanti ketika saya menjelajah Brazil dari Belem sampai ke Florianopolis (Brazil selatan).

Setelah sarapan di tengah kota, saya melanjutkan perjalanan ke bandara Belem untuk menaiki pesawat menuju ke Sao Paolo. Jarak tempuh cukup lama: 4 jam.

Perjalanan dari Belem ke Sao Paolo berlangsung lancar dan aman terkendali. Setelah menunggu beberapa jam di bandara Sao Paolo, pesawat yang saya tumpangi transit dulu di Asunción (Paraguay), kemudian melanjutkan perjalanan ke Santa Cruz de la Sierra.


Sudut antrian taksi di bandara Santa Cruz de la Sierra

Akhirnyaaaaaa…tiba juga di Santa Cruz! Dios Mios!!* Perjalanan yang saya tempuh begitu melelahkan dari Paramaribo, Suriname. Rasa lelah terbayarkan dengan dilancarkannya perjalanan dan bersyukur 2 koper super besar dan super berat juga tiba dengan utuh, tidak dibongkar atau hilang.

Bienvenida en Bolivia! **

(Santa Cruz de la Sierra, september 2007)

Keterangan:
* Ya, Tuhanku (bahasa spanyol)
** Selamat datang di Bolivia (bahasa spanyol)