Like

Tampilkan postingan dengan label Suriname. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Suriname. Tampilkan semua postingan

Minggu, 09 Desember 2012

VIII. 4. Suriname: Mutiara Jawa di Amerika Selatan

Perjalanan menjelajah amerika latin yang kedua adalah mengunjungi Paramaribo, ibukota Suriname. Negara yang berbahasa resmi Belanda di bagian utara benua amerika latin ini  terletak di antara negara Guyana Prancis dan Guyana Belanda. Atas undangan KBRI Paramaribo, saya dan beberapa pengusaha berpartisipasi dalam acara Indo Fair yang memang digelar setiap tahunnya yang penuh dengan malam kesenian Indonesia, barang-barang kerajinan dan aneka makanan khas Indonesia. Tentunya acara ini mengobati rasa rindu tanah air untuk para penduduk Suriname yang berdarah Indonesia.

Letak goegrafis Suriname.

Menginjakkan kaki di Paramaribo seperti menggunakan mesin waktu:  suasananya seperti keadaan kota-kota di Jawa di tahun 60 atau 70an (seperti yang saya pernah lihat di film-film nasional yang mengambil setting di Jawa). Keadaannya masih alami, sepi, banyak lahan terbuka, rata-rata rumah dibangun di atas tanah yang luas dengan halaman rumah yang luas pula. Iklim pada saat saya datang itu panasnya minta ampun dan sangat lembab.

Salah satu contoh suasana Paramaribo.

Dilihat dari demografinya, penduduk Suriname kebanyakan adalah bangsa imigran, salah satunya adalah transmigrasi penduduk Jawa yang dilakukan oleh bangsa Belanda untuk dijadikan kuli kontrak di akhir abad ke-19 sampai permulaan abad ke-20. Semakin saya merasa terbang ke Pulau Jawa, bukan ke Paramaribo yang jarak tempuh 9 jam dengan menaiki pesawat Surinam Airway dari Amsterdam. 

Surinam Airway yang membawa saya dari Amsterdam.

Selama acara Indo Fair berlangsung, beberapa rekan dan saya mendapat kesempatan siaran di Radio Bersama untuk mempromosikan acara Indo Fair. Wawancara radio riuh rendah menggunakan bahasa jawa, bahasa Indonesia dan bahasa belanda, yang dipandu oleh Pak Kadi Kartokromo dan Pak Roesman Darmahoetomo.

Setelah siaran di Radio Bersama.
Ki-ka: Pak Kadi Kartokromo, Pak Roesma Darmahoetomo, saya, Ketty Moentari

White Beach ala Paramaribo: Ada ikan piranha-nya, hiiiiiiiiii….

Setelah acara Indo Fair yang berlangsung 2 minggu selesai, saya diajak plesiran oleh Mas Cas, Mbak Kadek serta anak laki-laki mereka, Abe, yang waktu itu berusia 7 tahun. Pertama mereka mengajak saya ke White Beach atau Pantai Putih. Apa yang ada dibayangan Anda mendengar kata ´Pantai Putih?´. Ya, sama seperti saya: pantai indah dengan pasir putih, pohon kelapa di pinggir pantai dan air laut yang biru.

Suasana white Beach.

Ketika kami tiba, betapa kagetnya saya kalau si Pantai Putih ini tak lain adalah sebuah rawa yang ´disulap´ seperti pantai beneran. Memang ada pasir putihnya. Dan banyak orang berenang atau sekedar berendam setengah badan sambil bermain. Tapi, kok, airnya butek? Ya, iyalah, namanya juga rawa. Tapi namanya keren: White Beach.

Lalu, saya mengamati ada pagar kawat dipasang kira-kira 20 meteran dari garis pantai. Dalam hati bertanya, itu untuk apa, ya? Mungkin untuk menandakan batas berenang yang aman, pikir saya tanpa mau bertanya kepada Mas Casa tau Mbak Kadek.

Abe dan saya berpose sebelum sadar ada piranha. Hiii...

Well, akhirnya saya menerima kenyataan kenyataan si Pantai Putih tersebut dengan menikmati membasahi kaki saya terlebih dahulu disusul oleh Abe. Ketika kami mulai membasahi kaki sampai dengkul, terdengar teriakan Mas Cas: ´Hati-hati, jangan jauh-jauh sampai ke pagar kawat, kadang-kadang ada ikan piranha yang lolos masuk!´. Saya: What?? Buru-buru saya berlari panik keluar dari ´Pantai Putih´ diikuti Abe yang sambil tertawa terpingkal-pingkal.

Lah? Kok, orang-orang yang berenang dan berendam itu tidak takut digigit piranha? Kata Mas Cas: kalau di badan tidak ada luka, ya, nggak akan digigit. Hah? Biar kata tidak ada luka di seluruh badan. mending saya cari aman, deh, daripada kena colek piranha. Hiiiii....

Santai di bawah pohon kelapa.
Ki-Ka: Mas Cas, Mbak Kadek dan Abe.

Akhirnya, kami pun memilih beristirahat di pinggir pantai sambil menikmati es kelapa dan aneka cemilan yang dibawa Mbak Kadek dari rumah, bersama Mas Kadek dan Mas Cas. Sedangkan Abe dengan santainya dan riang-riang melanjutkan berenang. Saya masih tertawa geli sekaligus masih kaget dan sedikit panik atas kejadian tersebut.

Jembatan Wijdenbosch dan lumba-lumba yang tak kunjung muncul...
Setelah santai berpiknik di pinggir pantai, Mas Cas sekelurga mengajak saya melihat Jembatan Wijdenbosch, yang namanya berasal dari Presiden Suriname, Jules Wijdenbosch. Penduduk Suriname menyebutnya Jembatan ´Big Broki´ atau Big Bridge. Di jembatan yang cukup panjang ini, menurut cerita, ada lumba-lumba berenang dan muncul ke permukaan. Hari itu kami lagi sial, tidak tampak seekor pun lumba-lumba walaupun kami telah menunggu kurang lebih setengah jam. Belum rejeki dan si lumba-lumba masih malu-malu mungkin sliweran di dekat jembatan. 
Mana, ya, lumba-lumbanya

Benteng Bergaya Kolonial
Setelah harapan pupus tidak jadi say hello dengan lumba-lumba, Mas Cas melanjutkan laju mobilnya ke arah pusat kota di daerah Waterkant, dimana terdapat benteng peninggalan Belanda yang bernama Niew Fort. Penduduk Suriname menyebutnya Niew Foto. Keadaan dan suasana benteng ini seperti kompleks bangunan bergaya kolonial. Benar-benar mengingatkan akan gedung dan bangunan bersejarah di Kota Tua Jakarta.



Bertemu Oma Cip
Setelah cukup puas plesiran, Mas Cas melanjutkan laju mobilnya ke arah rumah Mbak Atun yang tidak jauh dari rumah Mas Cas sekeluarga. Di sana, saya bertemu dengan Tante Gin dan Oma Pesek atau Oma Cip. Oma Cip ini adalah panggilan populer karena memang pembuat chips atau keripik. Selama berkunjung singkat ke rumah Mbak Atun, berbagai cemilan dan teh hangat dihidangkan untuk menjamu kami.

Bertamu ke penduduk lokal
Ki-Ka: Tante gin, Oma Cip dan saya

Mbak Atun, Tante Gin dan Oma Pesek adalah contoh warga Suriname keturunan jawa yang ramah dengan siapa saja (terutama orang Indonesia) yang berkunjung ke Suriname. Mereka merasa seperti bertemu saudara jauh. 

Ya, penduduk Suriname yang keturunan Jawa yang saya temui sangat ramah, walaupun mereka tidak fasih berbahasa Indonesia. Mereka masih fasih berbahasa Jawa. Bahkan mereka berbahasa Belanda yang memang bahasa resmi nasional dengan logat Jawa yang masih kental. 

Menurut Mas Cas dan Mbak Kadek, tipikal orang Suriname keturunan Jawa memang begitu. Mereka sangat senang jika ada tamu datang dari Indonesia. Serasa bertemu keluarga yang hilang kontak di Indonesia. 

Ini cerita menarik dan mengharukan. Walaupun mereka fasih berbahasa jawa, memasak masakan Indonesia dan masih melestarikan kesenian tradisional jawa, tetapi kebanyakan dari mereka tidak pernah mengenal dan menginjakkan kakinya ke Jawa. Mereka mengenal semua itu dari orang tua dan sesepuh mereka yang memang masih melestarikan kebudayaan jawa di Suriname.

Perjalanan saya mengunjungi Paramaribo, ibukota Suriname meninggalkan kesan tersendiri. Seperti kembali ke kampung halaman dan bertemu kangen dengan saudara jauh. Sayangnya saya tidak bisa tinggal lebih lama lagi disana karena harus melanjutkan perjalanan ke Santa Cruz de La Sierra, Bolivia.

(Paramaribo, Suriname, Sept 2007. Matur nuwun Mas Cas, Mbak Kadek, Abe, dan keluarga Jawa disana)

Peta: google
Layout: LGN