Menginjakkan kaki di Paramaribo
seperti menggunakan mesin waktu: suasananya
seperti keadaan kota-kota di Jawa di tahun 60 atau 70an (seperti yang saya
pernah lihat di film-film nasional yang mengambil setting di Jawa). Keadaannya masih alami, sepi, banyak lahan terbuka, rata-rata rumah dibangun di atas tanah yang luas dengan halaman rumah yang luas pula. Iklim pada saat saya datang itu panasnya minta ampun dan
sangat lembab.
![]() |
Salah satu contoh suasana Paramaribo. |
Dilihat dari demografinya,
penduduk Suriname kebanyakan adalah bangsa imigran, salah satunya adalah
transmigrasi penduduk Jawa yang dilakukan oleh bangsa Belanda untuk dijadikan
kuli kontrak di akhir abad ke-19 sampai permulaan abad ke-20. Semakin saya
merasa terbang ke Pulau Jawa, bukan ke Paramaribo yang jarak tempuh 9 jam dengan
menaiki pesawat Surinam Airway dari Amsterdam.
![]() |
Surinam Airway yang membawa saya dari Amsterdam. |
Selama acara Indo Fair berlangsung, beberapa rekan dan saya mendapat kesempatan siaran di Radio Bersama untuk mempromosikan acara Indo Fair. Wawancara radio riuh rendah menggunakan bahasa
jawa, bahasa Indonesia dan bahasa belanda, yang dipandu oleh Pak Kadi Kartokromo dan Pak Roesman Darmahoetomo.
![]() |
Setelah siaran di Radio Bersama. Ki-ka: Pak Kadi Kartokromo, Pak Roesma Darmahoetomo, saya, Ketty Moentari |
White Beach ala Paramaribo: Ada ikan piranha-nya, hiiiiiiiiii….
Setelah acara Indo Fair yang
berlangsung 2 minggu selesai, saya diajak plesiran
oleh Mas Cas, Mbak Kadek serta anak laki-laki mereka, Abe, yang waktu itu
berusia 7 tahun. Pertama
mereka mengajak saya ke White Beach atau Pantai Putih. Apa yang ada dibayangan
Anda mendengar kata ´Pantai Putih?´. Ya, sama seperti saya: pantai indah dengan
pasir putih, pohon kelapa di pinggir pantai dan air laut yang biru.
![]() |
Suasana white Beach. |
Ketika kami tiba, betapa kagetnya saya kalau si
Pantai Putih ini tak lain adalah sebuah rawa yang ´disulap´ seperti pantai
beneran. Memang ada pasir putihnya. Dan banyak orang berenang atau sekedar
berendam setengah badan sambil bermain. Tapi, kok, airnya butek? Ya,
iyalah, namanya juga rawa. Tapi namanya keren: White Beach.
Lalu, saya mengamati ada pagar kawat dipasang
kira-kira 20 meteran dari garis pantai. Dalam hati bertanya, itu untuk apa, ya?
Mungkin untuk menandakan batas berenang yang aman, pikir saya tanpa mau
bertanya kepada Mas Casa tau Mbak Kadek.
![]() |
Abe dan saya berpose sebelum sadar ada piranha. Hiii... |
Well, akhirnya saya menerima kenyataan kenyataan
si Pantai Putih tersebut dengan menikmati membasahi kaki saya terlebih dahulu
disusul oleh Abe. Ketika kami mulai membasahi kaki sampai dengkul, terdengar
teriakan Mas Cas: ´Hati-hati, jangan jauh-jauh sampai ke pagar kawat, kadang-kadang
ada ikan piranha yang lolos masuk!´. Saya: What??
Buru-buru saya berlari panik keluar dari ´Pantai Putih´ diikuti Abe yang sambil
tertawa terpingkal-pingkal.
Lah? Kok, orang-orang yang berenang dan
berendam itu tidak takut digigit piranha? Kata Mas Cas: kalau di badan tidak
ada luka, ya, nggak akan digigit. Hah?
Biar kata tidak ada luka di seluruh badan. mending saya cari aman, deh, daripada kena colek piranha. Hiiiii....
![]() |
Santai di bawah pohon kelapa. Ki-Ka: Mas Cas, Mbak Kadek dan Abe. |
Akhirnya, kami pun memilih beristirahat di
pinggir pantai sambil menikmati es kelapa dan aneka cemilan yang dibawa Mbak Kadek dari rumah, bersama Mas Kadek dan Mas Cas. Sedangkan Abe dengan santainya dan riang-riang melanjutkan berenang. Saya masih tertawa geli sekaligus
masih kaget dan sedikit panik atas kejadian tersebut.
Jembatan Wijdenbosch dan lumba-lumba yang tak kunjung muncul...
Setelah santai berpiknik di pinggir pantai, Mas Cas
sekelurga mengajak saya melihat Jembatan Wijdenbosch, yang namanya berasal dari
Presiden Suriname, Jules Wijdenbosch. Penduduk Suriname menyebutnya Jembatan ´Big Broki´ atau Big Bridge. Di jembatan yang cukup panjang ini, menurut cerita, ada
lumba-lumba berenang dan muncul ke permukaan. Hari itu kami lagi sial, tidak
tampak seekor pun lumba-lumba walaupun kami telah menunggu kurang lebih
setengah jam. Belum rejeki dan si lumba-lumba masih malu-malu mungkin sliweran di dekat jembatan.
![]() |
Mana, ya, lumba-lumbanya |
Benteng Bergaya Kolonial
Setelah harapan pupus tidak jadi say hello dengan lumba-lumba, Mas Cas melanjutkan laju mobilnya ke arah
pusat kota di daerah Waterkant, dimana terdapat benteng peninggalan Belanda
yang bernama Niew Fort. Penduduk
Suriname menyebutnya Niew Foto.
Keadaan dan suasana benteng ini seperti kompleks bangunan bergaya kolonial.
Benar-benar mengingatkan akan gedung dan bangunan bersejarah di Kota Tua
Jakarta.
Bertemu Oma Cip
Setelah cukup puas plesiran, Mas Cas melanjutkan laju mobilnya ke arah rumah Mbak Atun yang tidak jauh dari rumah Mas Cas sekeluarga. Di sana, saya bertemu dengan
Tante Gin dan Oma Pesek atau Oma Cip. Oma Cip ini adalah panggilan populer
karena memang pembuat chips atau
keripik. Selama berkunjung singkat ke rumah Mbak Atun, berbagai cemilan dan teh
hangat dihidangkan untuk menjamu kami.
![]() |
Bertamu ke penduduk lokal Ki-Ka: Tante gin, Oma Cip dan saya |
Mbak Atun, Tante Gin dan Oma Pesek adalah contoh warga Suriname keturunan jawa yang ramah dengan siapa saja (terutama orang Indonesia) yang berkunjung ke Suriname. Mereka merasa seperti bertemu saudara jauh.
Ya, penduduk Suriname yang keturunan Jawa yang saya temui sangat ramah, walaupun mereka tidak fasih berbahasa Indonesia. Mereka masih fasih berbahasa Jawa. Bahkan mereka berbahasa Belanda yang memang bahasa resmi nasional dengan logat Jawa yang masih kental.
Menurut Mas Cas dan Mbak Kadek, tipikal orang Suriname keturunan Jawa memang begitu.
Mereka sangat senang jika ada tamu datang dari Indonesia. Serasa bertemu
keluarga yang hilang kontak di Indonesia.
Ini cerita menarik dan mengharukan. Walaupun mereka fasih berbahasa jawa, memasak masakan Indonesia dan masih melestarikan kesenian tradisional jawa, tetapi kebanyakan dari mereka tidak pernah mengenal dan menginjakkan kakinya ke Jawa. Mereka mengenal semua itu dari orang tua dan sesepuh mereka yang memang masih melestarikan kebudayaan jawa di Suriname.
Ini cerita menarik dan mengharukan. Walaupun mereka fasih berbahasa jawa, memasak masakan Indonesia dan masih melestarikan kesenian tradisional jawa, tetapi kebanyakan dari mereka tidak pernah mengenal dan menginjakkan kakinya ke Jawa. Mereka mengenal semua itu dari orang tua dan sesepuh mereka yang memang masih melestarikan kebudayaan jawa di Suriname.
Perjalanan saya mengunjungi
Paramaribo, ibukota Suriname meninggalkan kesan tersendiri. Seperti kembali ke
kampung halaman dan bertemu kangen dengan saudara jauh. Sayangnya saya tidak
bisa tinggal lebih lama lagi disana karena harus melanjutkan perjalanan ke Santa
Cruz de La Sierra, Bolivia.
(Paramaribo, Suriname, Sept 2007.
Matur nuwun Mas Cas, Mbak Kadek, Abe, dan keluarga Jawa disana)
Peta: google
Layout: LGN