Masih cerita tentang kegiatan
pulang kampung ke Jawa. Setelah nyekar ke makam leluhur dan belajar teknik pewarnaan batik, kali ini ingin merasakan belajar menenun.
Masih ada seminggu tersisa
masa tinggal di Yogyakarta, saya pun memutuskan untuk mengunjungi desa tenun
seharian dan belajar menenun di rumah salah satu penduduk di daerah Moyudan,
sebelah barat Yogyakarta.
Karena menginap di tengah kota
Yogyakarta, jarak yang ditempuh ke daerah Moyudan lumayan jauh. Sepanjang perjalanan
sangat menyenangkan karena sekeliling saya adalah hamparan sawah hijau yang
sangat luas dan hijau.
Ketika tiba di desa Gamplong,
saya nekat saja bertanya kepada salah penduduk bahwa saya ingin belajar menenun
seharian dan ingin mengetahui tekniknya. Si pemilik rumah yang baik hati dan
ramah, cukup kaget juga atas kenekatan saya karena memang saya tidak menelepon
atau membuat janji terlebih dahulu.
Tetapi itulah keramahannya orang
Jawa, saya pun dipersilakan masuk dan diperkenalkan oleh para ibu menjelang
usia senja yang masih giat bekerja menenun. Mereka ada sepuluh orang lebih. Saya
yang tidak mahir berbahasa jawa (walaupun asli dari Jawa), juga mendapat kursus
bahasa jawa secara tidak langsung dari percakapan kami seharian penuh itu. Kursus singkat tenun sehari itu diisi dengan canda, tawa dan guyonan khas jawa. Khas ibu-ibu versus anak muda. Seru..
Kegiatan sehari-hari para ibu di Moyudan, Yogyakarta, yang membutuhkan kesabaran dan ketekunan. |
Seharian saya belajar menenun
dari benang katun dan juga dari daun pandan. Ini yang sering kita lihat hasilnya, seperti tikar pandan.
Benang dan pewarnaan tenun juga ada
prosesnya tersendiri dulu. Karena yang ingin saya pelajari adalah cara menenun,
maka konsentrasi saya kepada teknik menggunakan mesin tenun yang masih
dijalankan secara manual oleh tenaga manusia. Ya, tenaga ibu-ibu usia senja
ini. Mereka adalah penduduk sekitar yang memang mempunyai keterampilan menenun
secara turun temurun.
Di sepanjang desa tenun ini,
kegiatan tidak hanya menenun tetapi sepanjang jalan saya melihat beberapa nenek
yang tekun memintal kapas menjadi benang sambil menjaga toko kelontong
miliknya. Hasil pintalan tersebut biasanya akan mereka jual ke tempat-tempat
pengrajin tenun rumahan. Jadi, dalam satu desa, kegiatan satu sama lain saling
menunjang.
Terharu saya menghabiskan
seharian di desa tenun ini. Tidak hanya belajar tentang teknik tenun, tetapi
jadi mengetahui kehidupan mereka sehari-hari dari menenun.
Untuk para ibu yang bekerja keras
dan masih melestarikan budaya tenun.
Yogyakarta, awal tahun 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar