Masih lanjut cerita tentang
pengalaman hidup di Caracas, Venezuela. Kalau di butir bab sebelumnya saya jadi
belajar memasak dan menjalin persahabatan dengan 2 wanita Indonesia, kali ini
cerita tentang bagaimana saya berbaur dengan kehidupan sehari-hari di Caracas
di sela-sela jadwal pameran produk Indonesia yang padat.
Les bahasa Spanyol
Sadar bahwa sebagian besar
penduduk Amerika Latin tidak berbahasa inggris, maka saya yang harus belajar
bahasa mereka, yaitu bahasa spanyol dengan akses dan beberapa kosa kata ala
Venezuela.
Di sela-sela kesibukan mengikuti
pameran, saya harus menyempatkan memoles bahasa spanyol. Biar kata mengerti
sedikit demi sedikit, jika ada waktu dan biaya lebih, kenapa juga nggak nambah
ilmu? Mumpung berada di negara yang berbahasa spanyol.
Manfaat memperdalam bahasa
spanyol di Venezuela lumayan banyak. Saya bisa bernegosiasi dalam hal
pekerjaan, mempermudah komunikasi dengan penduduk setempat sampai harus survive
menghadapi orang ketika saya sempat dijudesin di bank atau di supermarket
karena kesalahpahaman.
Selain itu, manfaat belajar
bahasa spanyol di sebuah lembaga bahasa juga menambah jumlah teman asing yang kebetulan juga menetap
beberapa waktu di Caracas. Saya berteman dengan Serife, cewek baik hati asal
Turki. Juga Maaike asal negeri Belanda dan beberapa teman asing lainnya yang
berasal dari Estonia, Austria, Cina, Afrika dan Timur Tengah. Guru bahasa kami
yang baik hati, bernama Luz, dengan sabarnya mengajari kami. Setelah waktu
kursus selasai, beberapa kali kami ngopi bareng.
Di kelas bahasa ini kami
diwajibkan untuk memperkenalkan budaya masing-masing negara. Dan saya sempat menari tarian tradisional
Indonesia dan memakai kebaya.
Belajar tari Flamenco, Salsa,
Cumbia, Merengue dan Ikutan kelas Zumba
Lagi-lagi jika ada waktu luang,
saya manfaatkan semaksimal mungkin. 3 kali seminggu di pagi hari saya isi
dengan kursus bahasa spanyol dan di malam hari mengikuti tari flamenco. Tarian
asal Spanyol ini menarik perhatian saya sejak dulu. Ketika ada kesempatan, saya
mengikuti kelas flamenco ini 3 kali seminggu. Bahkan pernah pentas kecil.
Selain mengikuti kelas tari
flamenco, di sela-sela istirahat saya memperkenalkan sedikit gerakan tarian
Indonesia. Dari situ, saya kenalan dengan beberapa teman Venezuela dan mengajak
saya untuk belajar tarian asal amerika latin lainnya, seperti salsa, tango
(tanpa pasangan), cumbia, merengue dan zumba. Yang terakhir ini sebenarnya sudah lama
populer di negara-negara Amerika latin. Dengan mengikuti aneka gerakan tari
ini, merupakan tabungan keterampilan. Siapa tahun di masa mendatang saya bisa
membuka kelas tarian tradisional Indonesia dan dansa khusus tarian Amerika
Latin, di manapun nanti saya berada.
Mendatangi Rumah Penampungan Khusus Anak-anak.
Di sela-sela waktu luang, beberapa kali saya
mendatangi Rumah Penampungan Khusus Anak-anak di Caracas. Adalah Maaike, teman
kursus bahasa Spanyol yang memang sedang magang dan penelitian untuk kuliahnya
di Belanda, mengajak kami untuk mengunjungi tempat penampungan anak-anak ini.
Jiwa Maaike sebagai pendidik turut memanggil
saya untuk berpartisipasi dengan menyalurkan kemampuan yang saya punya.
Sayangnya ketika kami sudah mengatur jadwal, saya harus segera pindah dari
Caracas.
Kesan yang saya dapat tentang kehidupan di
Caracas sebagai orang asing…
- Pertama-tama sulit beradaptasi dengan semua keadaan yang serba baru.
- Bahasa juga menjadi kendala utama. Karena itu saya bela-belain kursus bahasa spanyol. Disini, nih, sebenarnya saya bangga dengan orang-orang Indonesia yang bisa berbahasa inggris di negeri sendiri. Di kebanyakan negara Amerika Latin, penduduknya tidak banyak yang berbahasa inggris.
- Mentalitas dan karakter penduduk lokal yang tidak sama dengan penduduk Amerika Latin pada umumnya, maka kitalah yang harus bekerja ekstra keras untuk beradaptasi dan memahami mereka. Capek? Kesal? Ya, pasti…sampai rasanya mau koprol bolak balik di jalan raya saking kesalnya.
- Tapi itulah perbedaan. Kita harus menerima kekurangan dan kelebihan setiap bangsa yang berbeda. lagi-lagi memang sulit awalnya dan kita yang harus lebih berusaha memahami mereka.
- Sifat mereka yang tidak butuh akan kehadiran orang asing melekat dan mendarah daging. Tetapi cuekin, aja. Yang penting kita tidak mengganggu dan merugikan mereka. Kalau kita yang dirugikan, lain urusannya.
- Saya berusaha mencari kesibukan positif yang menguras tenaga, sehingga tidak ada waktu untuk memikirkan kekesalan dan marah-marah nggak ada juntrungan dengan keadaan sehari-hari yang memang seringnya bikin kerutan di wajah nambah. Contoh keadaan: waktu saya ke supermarket, tersedia 10 kasir. Tetapi yang buka hanya 2. Dan antriannya panjang bak ulang naga. Padahal saya melihat banyak petugasnya nggak ngapa-ngapain dan ngobrol-ngobrol saja. Ketika saya bertanya, kenapa nggak buka kasir lain. Jawabnya dengan santai: bukan tugas saya. Booo…??? *gigit keranjang belanjaan.
Caracas, Venezuela, sepanjang jalan kenangan Des 2008 - juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar