Like

Selasa, 13 November 2012

I. 3. Bergabung dengan Cita Cinta

Sepulang dari Misi Budaya dan mengantongi berbagai informasi mengenai pendidikan di Prancis, saya pun mulai melakukan persiapan mental dan menabung. Sayangnya, untuk melanjutkan pendidikan di eropa, tidak semudah membalikkan telapak tangan (kata pepatah). Untuk sekolah, lebih njlimet dan berbagai macam dokumen harus disiapkan. Disamping itu, tentunya biaya menjadi kendala karena biaya hidup disana yang sangat mahal, sementara biaya sekolah yang murah. Ini jadi dilema. Ditambah lagi kita harus menguasai bahasa prancis dengan baik dan benar.

Pada saat itu, saya tidak bisa melamar untuk mendapatkan beasiswa dari pemerintah Prancis, pemerintah Indonesia atau dari yayasan manapun, karena saya belum memenuhi syaratnya, yaitu ditujukan untuk para mahasiswa yang telah mendapat gelar S1. Sementara, saya baru menyelesaikan sekolah sampai tahap Diploma 3. 


Saya pun menerima kenyataan ini dengan lapang dada. Saya memutuskan untuk mengubur sementara keinginan ini dan mulai berkarya di Indonesia. Lalu berusaha kembali menjalani hidup dan memulai mencari pekerjaan. Untuk hal yang ini, saya tahu apa yang saya mau: tidak ingin bekerja sesuai dengan bidang studi yang saya pelajari. Itu bukan bidang saya. 


Hidup terus berlanjut, saya terus mencari pekerjaan yang saya inginkan (setidaknya di perusahaan mana saya ingin bekerja) sambil tetap latihan rutin setiap minggu di Balai Mahasiswa UI Salemba.

Walaupun kami sudah lulus dari UI, tetapi kami mempunyai keterikatan tetap latihan rutin untuk menunjukkan masa bakti setelah Misi Budaya selesai.

Di sela-sela latihan rutin dan kami masih asyik berbagi cerita tentang perjalanan Misi Budaya kami dengan para anggota, muncul ide untuk menulis cerita perjalanan Misi Budaya lalu ke salah satu perusahaan majalah di Jakarta. Saya pun memberanikan diri untuk menyerahkan tulisan disertai foto-foto (waktu itu belum populer yang namanya flash disc atau kamera digital). Ketika memasuki kantornya yang sederhana namun menggambarkan dengan ciri kantor majalah yang dinamis, saya tertarik untuk melamar bekerja di perusahaan itu. Perusahaan itu adalah perusahaan majalah wanita pertama, Femina.

Nasib baik berpaling kepada saya. Setelah melalui proses tes dan wawancara, saya pun diterima bekerja di perusahaan tersebut. Dimulai dari staf di bagian umum, ´dipinjam´ sementara menjadi sekretaris pemimpin redaksi Majalah Femina sampai akhirnya saya ditarik menjadi sekretaris majalah wanita yang baru terbit beberapa bulan, Cita Cinta, untuk menggantikan posisi Mbak Riris.

Semua berawal dari sini, perjalanan karier kami.
Ki-Ka Atas Baris pertama: Santi, Jessica, Tina, Rani Fitri, Rani Anggraeni, Widi, Tussie.
Ki-Ka Baris kedua: Novia, Zornia, Riri, Mbak Poppy, Mbak Jane, Martha, Mariska.
Ki-Ka Bawah (duduk): Saya. Mira, Rully (duduk) , Mas Ujang (paling kanan, duduk).
Paling bawah jongkok: Adi.

Cita Cinta: Cerdas, Ceria, Cantik…
Disini, saya menemukan dunia yang saya mau. Dunia dinamis, teman-teman bekerja yang usianya tidak berbeda jauh, kreatif dan mempunyai idealis yang tinggi dalam bekerja. Sesuai motto majalahnya: Cerdas, Ceria, Cantik. Dan saya tidak menyesal dengan keputusan yang saya pilih.

Bersama teman-teman di Cita Cinta, yang Cerdas, Ceria, Cantik ;)

Setelah Liga Tari, majalah tempat saya bekerja ini saya anggap sebagai tempat dimana saya merasakan kenyamanan. Disini saya mendapat ilmu non formal tentang dunia profesi, bertemu dengan berbagai jurnalis hebat, belajar memahami berbagai macam karakter orang serta mendapat kesempatan untuk menimba ilmu secara tidak langsung: mengetahui jalur hidup suatu majalah, mulai dari mencari ide tulisan, proses produksi sampai jatuh ke tangan pembaca.

Nggak salah, memang, akhirnya saya bergabung dengan mereka...

Girls Only!
Cita Cinta memang didominasi kami para wanita. Penghuni pria yang tetap hanyalah Mas Ujang, bagian artistik dan produksi. Pernah ada Yoshie, yang hanya bekerja beberapa bulan. Mungkin dia nggak tahan, ya, dengan jejeritannya kami. Lalu pernah ada Adi, yang magang selama 3 bulan. Selama saya bekerja selama hampir 5 tahun, pegawai laki-laki yang pernah singgah hanya bisa dihitung dengan jari sebelah tangan saja.

Yoshie, ditengah-tengah sarang perempuan...*eh..

Bekerja disini banyak senangnya. Walaupun kami berisik setiap saat, tetapi kami tetap menghormati kapan waktu bekerja, waktu istirahat dan makan siang sampai kapan harus pulang. Nah, kalau waktu pulang, sih, seringnya lupa. Maklum masih banyak yang single waktu itu. Jadi kami tidak mempunyai kewajiban apapun untuk tiba di rumah sore hari. Apalagi sebagai besar tinggal di kos, seperti Widi, Jessica, Wulan dan saya.

Yang seru, pukul 5 sore adalah waktu yang ditunggu-tunggu. Tea time! Bukan waktunya minum teh beneran, sih. Tapi kami mencari cemilan atau sekedar jajan bakso di depan kantor. Obrolan mengalir lancar. Tidak hanya masalah pekerjaan, cita-cita masa depan, tentang keluarga, film yang seru dan tentu saja tentang pacar.

Tak terasa hampir 5 tahun saya berbagi ruang emosi yang penuh suka, duka, canda dan tawa. Sangat sulit mengucapkan selamat tinggal ketika saya memutuskan untuk berangkat ke Paris, melanjutkan sekolah dan mencari tahapan kehidupan yang baru.

Polkadot in action!
Ki-Ka Atas: Mbak Jane, Rully, Wuri, Andri, Widi, Cesy, Mira, Zornia.
Ki-Ka Duduk: Tussie, Saya, Alice, Wulan.
Paling bawah jongkok: Regina

Walaupun saat ini sebagian dari kami sudah tidak bekerja lagi di majalah tersebut, pertemanan masih terjaga. Bahkan sampai saya berganti benua pun, komunikasi dengan mereka masih tetap terjalin.

(Terima kasih teman-teman tercinta di majalah Cita Cinta, Femina Group. You are the best!)

Foto Atas : Koleksi Jessica Huwae
Foto (CC Jiffest): Koleksi Rani Anggraeni

I. 2. Liga Tari UI dan Misi Budaya tahun 2000


Inilah kami! Lengkap dengan alm. Pak Sumarno dan Pak Ari.

Saya tidak salah memilih UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang ditawarkan di UI untuk kegiatan para mahasiswanya. Dan Liga Tari menyatu dalam kegiatan kehidupan saya. Latihan reguler yang dilakukan setiap hari minggu, show, latihan latihan tambahan selain hari minggu, membuat saya semakin akrab dengan seluruh anggota yang terdiri dari para mahasiswa dari berbagai angkatan, fakultas dan jurusan di Universitas Indonesia. 

Di Liga Tari, kami mempelajari berbagai tarian dari daerah Jakarta, Sumatera dan Jawa Timur. Kami berbaur dengan berbagai angkatan dan saling membantu. Bahkan rasa kekeluargaan dan kekerabatan semakin terasa ketika kami lulus dari UI. Masih saling kontak dan bahkan tetap diminta bantuan ketika mereka ada show besar.


Tak hanya itu, pertalian pertemanan dengan anggota Liga Tari UI membawa dampak luas secara internasional.

Menjelang kelulusan diploma 3 di pertengahan tahun 2000, saya mendapat kado terindah dari kegiatan tari menari: Misi Budaya ke Prancis dan Spanyol selama sebulan. Bagi saya, perjalanan misi budaya ini bukan puncak karier saya yang telah bergabung di UKM ini, tetapi menjadi titik balik bahwa sampai dimana kesetiaan  terhadap UKM yang telah memberikan banyak pengalaman dan membuka pintu melihat negeri di seberang sana.

Merasakan perjuangan untuk bisa berangkat memperkenalkan budaya Indonesia khususnya di bidang tari menari, bukanlah perkara mudah. Banyak hal dipersiapkan. Selain materi tari yang bermutu, fisik dan mental juga dipersiapkan secara matang. Ditambah harus bijak membagi waktu antara kuliah, keluarga, teman, diri sendiri, latihan rutin, dan mencari dana.

Ketika waktu keberangkatan, berbagai macam perasaan emosional datang bersamaan. Tidak hanya emosi yang bercampur gembira dan haru, tetapi juga merasakan kelegaan bahwa perjuangan kami –setidaknya— sudah berhasil sampai tahap keberangkatan mengikuti Festival Tari Rakyat Sedunia. Orang tua yang selalu mendukung dan memberikan semangat, dengan sabar mengantar kami sampai ke pintu keberangkatan. Pesan ibu hanya satu waktu itu: banyak berdoa.

Perjalanan panjang dengan transit di bandara Abu Dhabi dan akhirnya kami mendarat di bandara Paris dengan selamat. Setelah pemeriksaan dokumen dan mengambil barang, kami disambut oleh panitia festival tari yang mengundang kami.

Kami tiba di Bandara Paris, Charles de Gaulle
Kami tiba di Paris! Kota sejuta cahaya ini menawarkan berbagai suasana. Dimana Menara Eiffel menjulang serta aliran Sungai Seine yang mengalir tenang yang memberikan banyak inspirasi seniman seluruh dunia untuk karyanya atau istana-istana raja yang berdiri kokoh seperti yang ada di dalam dongeng.

Dari bandara, kami mampir ke KBRI Paris untuk lapor diri dan menitipkan semua paspor kami. Pihak KBRI memberikan nasi kotak masakan Indonesia untuk rombongan kami sebagai bekal di perjalanan. Ya, kami tidak menari di Paris, tetapi di kota-kota kecil di tenggara Prancis dan di dua kota di Spanyol.

Inilah rute perjalanan kami selama di Prancis dan Spanyol.


Menuju Gueugnon: our heart stay there…
Setelah urusan lapor diri selesai, kami langsung menuju kota pertama tempat festival berlangsung, Gueugnon. Kota yang berada di bagian Prancis tenggara. Dengan menumpang bus yang disediakan oleh panitia festival, kami menempuh perjalanan hampir 4 jam.

Kami tinggal beberapa malam di kota Gueugnon dengan jadwal menari yg padat. Rombongan pun dipecah beberapa grup untuk dibagikan tempat tinggal. Sebagian besar tinggal di rumah penduduk lokal dan asrama sekolah. 

Keesokan harinya dan beberapa hari ke depan, kami menari di panggung besar yang didirikan di depan kantor walikota, di pasar kaget, di sekolah dan di Panti Jompo.

Makan pagi bersama anak-anak sekolah di Gueugnon

Karena rasa kekeluargaan yang erat dan berbaur dengan penduduk setempat, menjadi kendala ketika kami harus meninggalkan Gueugnon untuk melanjutkan festival di kota berikutnya. Mengucapkan selamat tinggal dan lambaian tangan diiringi mata berkaca-kaca mengantar kepergian kami.
Berpose di tengah-tengah menunggu giliran karnaval.
Ki-Ka Atas: Andhini, Diana, Inoy, Mia, Amatul, Dwi dan Saya.
Ki.-Ka Bawah: Kris (bersama sisingaan) dan Wayan.

Ourense: Kota Pertemuan di Ujung Barat Spanyol

Perjalanan tidak berhenti sampai disini. Kami melanjutkan ke kota Ourense, di bagian barat Spanyol yang nyaris berbatasan dengan Portugal. Di kota ini, kami dikunjungi oleh alm Pak Sumarno, salah satu alumni UI yang banyak memberikan dukungan untuk Misi Budaya ini. Dan juga Pak Ari, wakil Dekan FISIP UI yang juga Pembina Liga Tari UI.

Festival disini yang paling seru. Kami tidak hanya bertemu dengan teman-teman berbagai negara, tetapi juga kami tinggal di asrama sekolah dan dekat sekali dengan pusat kota. Jadwal festival yang padat setiap sore dan malam serta ada juga workshop bersama beberapa negara setelah makan siang, membuat kami sibuk dengan kegiatan baru ini. Tetapi bukan berarti kami tidak mempunyai waktu jalan-jalan ke pusat kota.
Tari Saman, salah satu tarian yang kami tampilkan di berbagai kota selama festival berlangsung.
Di Ourense ataupun sebagian besar kota-kota lainnya di Spanyol, toko-toko dan pusat perniagaan tutup antara jam 2 siang - jam 5 soreYa, olooohhh..ternyata tradisi ´la siesta´ (tidur siang) peninggalan nenek moyang masih terawat baik di kota ini. Sementara jadwal istirahat, makan siang dan tidak ada agenda parade dan jadwal pentas, ya, di jam yang sama ketika toko-toko pada tutup. Ih, kesel!. Tak ada jalan lain selain foto-foto di setiap sudut kota. Nggak bisa belanja. Dan hari terakhir di Ourense, seperti kejar setoran untuk membeli sekedar kenang-kenangan. Ini semacam pencarian harta karun dan berpacu dengan waktu. Seru!

Port-sur-Saone: Petugas Pendamping kami doyan Mi Instan!

Akhirnya festival di Ourense selesai dan kami kembali ke Prancis dan melanjutkan Festival di kota Port-sur-Saone, yang terletak di Prancis tenggara, dekat perbatasan Swiss. Di festival yang diikuti oleh 14 negara, kami meraih penghargaan. Betapa bangganya.

Di akhir festival, kami menerima penghargaan. 
Kalau pengalaman seru ada di Ourense, sedangkan yang lucu disini. Petugas pendamping yang mendampingi kami adalah sepasang anak muda asli penduduk kota tersebut. Mereka bukannya sibuk mendampingi kami, seperti memberitahu jadwal show atau sekedar mengajak orientasi festival, tetapi malah sering bertengkar. Berakhirnya, si cewek selalu mewek. 

Kami tidak mengerti bahasa prancis saat itu, hanya menebak-nebak sebabnya. Seperti orang Prancis kebanyakan, mereka tidak berbahasa inggris. Untunglah ada Cédric, pendamping kami yang setia mengikuti jadwal festival sejak awal. Cédric yang pernah tinggal di Indonesia dan bisa sedikit berbahasa Indonesia menjelaskan kepada kami mengapa mereka berantem. Sebenarnya bukan urusan kami mereka bertengkar, tetapi masalahnya waktunya sering tidak pas di saat mereka harus ´bekerja´. Misalnya ketika parade dimulai, pembagian waktu show atau ketika show akan berlangsung.

Pengalaman lucu lainnya adalah si cowok doyan banget mi instan. Kami memang membawa stok mi instan super banyak. Tengah malam setelah pentas, kadang-kadang kami menyantap mi instan. Tergantung situasi tempat tinggal, apakah memungkinkan untuk masak atau tidak. Nah, di Port-sur-Saone ini, kami tinggal di asrama sekolah yang ada dapur umumnya, jadi kami bisa memasak.

Suatu malam sehabis pentas, si cowok petugas pendamping itu ikutan menyantap mi instan. Eh, malam berikutnya dia datang lagi, untuk minta mi instan lagi. Lah? Haha..jelas, nggak dikasih lagi! Pelit, ya? Karena perjalanan kami masih lama dan itu untuk bekal di kota-kota selanjutnya.

Berbagi bus dengan Jepang
Setelah Port-sur-Saone, kami melanjutkan festival di kota-kota sekitarnya, seperti Vesoul, Remiremont dan Haguenau. Selama perjalanan ke beberapa kota tersebut, yang tadinya bus besar milik kami, harus berbagi tempat dengan rombongan budaya dari Jepang. Seru tapi rempong. Duduk sempit-sempitan nggak apa-apa, tapi barang bawaan mereka yang banyak banget dan makan tempat. Seperti topi lebar, bunga-bunga dan berbagai perlengkapan pentas lainnya.

Sempat berfoto dengan teman-teman dari Yugoslavia
Pengalaman yang menjadi kenangan adalah kami selalu menyempatkan berfoto dengan teman-teman berbagai negara. Negara-negara yang sering kami jumpai yaitu dari eropa timur, seperti Polandia dan Yugoslavia. Kami beruntung pernah berfoto dengan mereka yang waktu tahun 2000, negara tersebut masih kokoh berdiri. Dan sekarang negara itu hanya tinggal cerita. Berpetualang kemana, ya, teman-teman kami itu?

Berfoto bersama teman-teman dari Yugoslavia. 

Indonesia Raya berkumandang 
Dalam perjalanan ke salah kota setelah Port-sur-Saone, kami sejenak berhenti untuk mengheningkan cipta dan menyanyikan lagu Indonesia Raya untuk menghormati Hari Kemerdekaan RI, 17 agustus 2000. Ide ini datang dari Ucuy, koreografer kami. Suasana haru pun dominan di hari itu. Karena kami berada di tempat yang jauh dari Indonesia, rasa nasionalisme dan perasaan bangga akan negara sendiri pun muncul dengan sendirinya. 

It´s finished but it´s not over (yet)

Akhirnya, festival tari ini berakhir di kota Haguenau di hari ke-29 kami menjelajah Prancis dan Spanyol. Waktu jugalah yang memisahkan kami dari pengalaman berharga ini. 

Pesan moral yang kami dapatkan dari perjalanan ini adalah membuat kami tidak hanya mempunyai rasa toleransi yang tinggi, namun juga melatih diri menjadi mandiri, menghargai orang lain, tidak egois dan tentunya bertambah bijaksana. 


Bisa dikatakan juga bahwa perjalanan Misi Budaya ini sangat berharga bagaimana menghadapi konflik antar sesama peserta, menahan emosi, mencari jalan keluar ketika ada masalah saat show atau di perjalanan serta menghilangkan sifat  egois. Juga tentunya tumbuh rasa kekeluargaan, rasa saling menghargai antar sesama penari, pemusik, pendamping dan orang-orang yang membantu kelancaran terlaksananya Misi Budaya ini.

Yang lebih pentingnya lagi adalah kebudayaan Indonesia yang sangat beraneka ragam, yang berasal dari berbagai propinsi dan daerah bisa kami perkenalkan. Walau tidak semua, tetapi kami berhasil membawa Propinsi Aceh, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali ke dunia internasional. Inginnya Budaya Indonesia yang lain juga dikenal di mancanegara. Suatu saat semoga saja cita-cita kami tercapai dengan dilanjutkannya Misi-misi Budaya selanjutnya oleh generasi penerus Liga Tari Mahasiswa UI 'Krida Budaya'.

Tari Glipang dari Jawa Timur ditampilkan oleh Dwi, Toby, Edhi dan Herman.


Cerita tersisa dari Misi Budaya...
  1. Pengalaman kami selalu seru setiap pindah negara. Entah itu masalah pembagian tempat tinggal dan kamar, tetapi juga sampai acara rebutan ke kamar mandi dan antrian makan siang dan malam yang cukup panjang. Apalagi jika kami menginap di asrama mahasiswa bersama peserta negara-negara lain. Kebayang, dong, antriannya? 
  2. Curi-curi pandang sesama peserta festival antar negara adalah hal seru. Tapi, kalau yang dicuri-curi pandang ternyata tidak suka perempuan? Langsung kami patah hati ;(
  3. Perjalanan di bus yang berjam-jam, seringkali membuat kami susah tidur atau mati gaya. Koreografer kami, Ucuy, memilih untuk tidur melantai di koridor bus. Dan...kejatuhan koper! Teganya kami bukan langsung menolong dengan mengangkat koper yang meniban dirinya, tetapi malah tertawa ngakak. Maaf, ya, Cuy...
  4. Telepon dan handpone masih menjadi barang langka dan mahal. Belum ada yang namanya facebook, twitter, blackberry messeger sampai line dan whatsapp. Tidak bisa update berita apalagi status, hihi...Oleh karena itu, melalui foto-foto dan video kami bercerita mengenai pengalaman berharga kami.



(Untuk teman-teman Liga Tari UI Misi Budaya tahun 2000: Lia, Andhini, Sovi, Inoy, Rama, Mia, Diana, Kris, Wayan, Dwi, Herman, Toby, Edhi. Dan juga Ucuy, koreografer. Para pemusik berbakat: Ntong, Da Nas, Da Wan, Da Samsir, Mas Wahyu. Sang fotografer handal, Amatul dan juga Cedric, LO yang setia mendampingi. Juga untuk alm. Pak Sumarno D dan Pak Ari yang mendukung kegiatan kami. Tak lupa juga untuk semua keluarga besar Liga Tari UI. Dan juga untuk Aan, ananda tercinta alm Pak Sumarno D, yang merelakan ayahanda menenguk kami jauh-jauh dari Indonesia ke Spanyol)

Foto: Koleksi Saskia dan Amatul
Foto peta: google maps

I. 1. Langkah Awal...

Berhasil menyelesaikan kuliah D3 Perpajakan FISIP UI dan wisuda bersama adalah salah satu pengalaman hidup yang berharga.
Ki-Ka: Allan, Andhini, saya, Sovi, Saskia, Eric.

Dalam kamus hidup saya, setiap beberapa tahun, saya ingin berganti pekerjaan, suasana dan pengalaman. Tidak ingin stuck pada satu tempat yang membawa saya pada kebosanan dan menyesali hidup yang saya jalani. Sebagian orang mengatakan bahwa hidup itu adalah suatu pilihan, ada benarnya. Tetapi, tidak sebatas hanya menentukan pilihan, tetapi bagaimana kita berbesar hati menerima pilihan itu dan dengan sukarela menjalaninya tanpa beban.

Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup. Ingin menjadi apa, mau melakukan apa dan nanti akan bagaimana. Saat itu hanya berfikir bahwa saya sedang menjalani hidup. Contohnya saya berhasil menyelesaikan pendidikan dasar sampai menengah dengan tepat waktu. Setelah lulus sekolah, saya tidak tahu harus menlanjutkan bidang studi yang saya inginkan. Karena pada saat itu saya benar-benar tidak tahu. Orang tua berperan mengarahkan, tetapi lagi-lagi, kita sebagai orang yang akan menjalani kehidupan, harus mengetahui apa yang menjadi tujuan kita. Sialnya, saya tidak tahu.

Tidak lulus ujian UMPTN (sekarang apa, ya, namanya?), bukan akhir dunia. Lalu saya mencari alternatif fakultas dan jurusan yang menarik minat saya. Dan optimis mengikuti tes ujian masuk Diploma 3 Jurusan Perpajakan di FISIP Universitas Indonesia. Saya lulus tes dan mengikuti perkuliahan. Karena akhirnya harus dijalani, maka saya konsekuen menyelesaikan kuliah saya tepat waktu: selama 3 tahun.

Ilmu yang saya pelajari, toh, akhirnya berguna sampai sekarang dan ada hubungannya dengan pekerjaan yang saya tekuni pada akhirnya. Walaupun kurang sreg dengan bidang studi yang saya jalani, tetapi suasana kampus, teman-teman, dan mengikuti berbagai kegiatan yang saya ikuti sangat menyenangkan dan saya menikmatinya.

Girlfriends in D3 Perpajakan FISIP UI 1997 - 2000.
Ki-Ka Atas: Niken, Ade, saya, Andhini, Bintang, Saskia, Nike.
Ki-Ka Bawah: Mira, Sovi, Alia, Kiki.
Agar kebosanan keluar dari sarangnya, saya mencari kegiatan yang positif dengan bergabung di salah satu Unit  Kegiatan Mahasiswa (UKM) UI, yang bergerak dibidang tari. Disini saya menemukan keseimbangan antara belajar dan kegiatan yang menyenangkan sebagai kompensasi dan hiburan untuk bidang studi yang telah saya pilih.

Ternyata, saya tidak salah pilih kegiatan ekstra. Karena, berkat bergabung di Liga Tari ´Krida Budaya´ Universitas Indonesia, saya belajar banyak hal. Liga Tari tidak hanya mengajarkan teknik dan beragam tarian, tetapi juga tentang  cara berorganisasi, mengatur waktu, menumbuhkan rasa kebersamaan antar sesama anggota, rasa berbagi dan toleransi yang tinggi.

Bagi saya, kegiatan ini sebagai sekolah non formal, tentu selain pendidikan sopan santun yang diajarkan di rumah dan secara ilmu di bangku kuliah. Disini, saya bertemu banyak seniman hebat yang merupakan harta karun hidup budaya Indonesia. Malah, saya lebih banyak menghabiskan waktu di ruang latihan Balai Mahasiswa UI Salemba ketimbang wira wiri kuliah di Depok. Dan Liga Tari ini yang berperan dalam langkah saya ke depannya.
  • Untuk teman-teman angkatan D3 Perpajakan FISIP UI 1997 – 2000. You made my world so colourful.

Foto:
Koleksi Saskia (wisuda)
Koleksi Mira (cewe-cewek).

Cerita Lanjutan:
Liga Tari dan Misi Budaya tahun 2000
http://puruhita-journey.blogspot.mx/2012/11/i-2-liga-tari-ui-dan-misi-budaya-tahun.html