Letak geografis Bolivia |
Perjalanan panjang untuk tiba di Bolivia dengan transit di 2 negara (Brazil dan Paraguay) dan berganti pesawat di 3 kota (Belém, Sao Paolo dan Asunción), akhirnya terbayarkan tiba dengan selamat tanpa kekurangan apapun.
Terdamparnya saya di Santa Cruz
de la Sierra adalah untuk berpartisipasi dalam salah satu acara pemeran.
Letaknya pameran yang tidak terlalu jauh dari pusat kota, jadi saya memilih
untuk tinggal di hotel yang terletak di pusat kota.
Salah satu sudut kota Santa Cruz |
Perjalanan menuju hotel, stuck di taksi karena ada tawuran
Setelah keluar dari imigrasi,
saya menumpang taksi menuju hotel di pusat kota. Udara kota Santa Cruz sangat
panas dan lembab bahkan berdebu. Walaupun demikian, saya menikmati pemandangan
sepanjang perjalanan.
Tiba-tiba taksi berhenti dan ada
kemacetan namun sepertinya banyak orang berlari-lari. Waduh, ada apa ini, batin
saya? Ternyata ada tawuran antar kelompok dan mereka saling lempar batu. Betapa
kaget dan paniknya saya. Dengan bahasa spanyol seadanya waktu itu, saya
bertanya kepada pak supir taksi apa yang terjadi. Dengan tenangnya, dia
menjawab bahwa ada tawuran antar warga dan tidak perlu kuatir, tidak
berlangsung lama. What?? Ini saya baru landing, lho…dan baru pertama kali
menjejakkan kaki di kota ini, di negara ini, lho. Ya, ampun, akan ada kejutan apalagi, ini? batin saya.
Ketakutan pun muncul. Refleks saya
berlindung di balik jok pak supir sambil melindungi kepala dengan kedua tangan,
sambil membatin: kota macam apa ini? Negara macam apa ini? Kenapa, kok, saya
mau-maunya dikirim kesini. Gemetar.
Berbagai macam doa untuk meminta
perlindungan pun keluar dengan sendirinya. Tak lama memang taksi melanjutkan
perjalanan dan kemacetan terurai dengan sendiri. Rasa takut dan gemetar pun
lama-lama hilang dengan sendirinya.
Tak lama, saya tiba di hotel. Pak
supir pun membantu mengangkat 2 koper super berat ke lobi sembari meminta maaf
atas kejadian tadi. Dia berharap masa tinggal saya di Santa Cruz akan
menyenangkan.
Ya. Semoga.
Kenalan dengan Ines
Saat menginjakkan Santa Cruz de
la Sierra, saya sudah mengantongi nama Ines, wanita paruh baya yang memang
tinggal di Santa Cruz. Adalah kolega kerja saya bernama Indra yang bertemu Ines
di Bogotá dan memberitahu bahwa saya akan berada di Santa Cruz dalm waktu dekat.
Ines pun menawarkan kepada Indra agar saya mengontaknya dan bersedia menemani
selama di Santa Cruz. Antara Indra dan Ines adalah pertemuan tak sengaja yang
membawa dampak positif akan perjalanan saya ini.
Ketika pameran berjalan beberapa
hari, akhirnya saya memberanikan diri mengontak Ines. Tadinya saya ragu karena nggak enak dan tidak kenal langsung.
Ines pun menyambut baik telepon saya. Sesuai janjinya, Ines pun datang ke hotel
tempat saya menginap dan mengantar pula ke tempat pameran berlangsung.
Saya
mengenalkan Ines ke teman-teman peserta pameran Indonesia. Dengan ramahnya,
Ines mengundang kami makan siang bersama di rumahnya.
Dan kebetulan sekali
tidak bentrok dengan jadwal pameran yang berlangsung dari jam 5 sore sampai jam
12 malam. Jadwal yang aneh. Tetapi, jadwal aneh ini akan saya sering temui di
berbagai pemeran di Brazil yang terletak di kota-kota pinggir pantai.
Bertamu ke rumah Ines dan
keluarganya.
Pada hari yang ditentukan, Ines pun
menjemput kami dengan pak supir dan masing-masing mengendarai mobil besarnya. Ya, karena jumlah kami hampir 8 orang. Ketika menaiki mobil, Ines memberitahu bahwa letak rumahnya agak di pinggiran kota Santa Cruz de la
Sierra.
Menuju ke rumahnya, jadi mengenal
keadaan kota Santa Cruz. Mulai dari melewati pusat kota sampai alam pedesaan dan
keadaan fisik jalanan yang lebih cocok untuk off road. Kami bertemu dengan segerombolan sapi yang hendak
menyeberang yang dipandu oleh seseorang dengan menunggangi kuda. Seperti di film-film cowboy.
Dlm perjlnan menuju ke rumah Ines |
Setelah melalui medan yang cukup berat,
akhirnya kami tiba di rumah Ines. Rumah mewah dengan gaya arsitektur amerika
latin (seperti yang saya lihat di beberapa telenovela) dan halaman yang sangat
luas, membuat siapa pun betah untuk tinggal di situ.
Dengan ramah, Ines mempersilakan kami untuk
memasuki rumahnya dan mengenalkan salah satu anak perempuannya, Carolina.
Bersama Carolina (kiri) dan sepupunya (kanan) |
Kemudian kami diajak berkeliling rumahnya.
Sepertinya rumah ini dirancang sekaligus menjadi tempat peristirahatan yang
nyaman. Setelah puas berkeliling, kami pun santap siang bersama.
Menjelang sore, Ines pun mengantar kami kembali
ke hotel. Saya pun mengucapkan terima kasih atas nama teman-teman yang saya atas kebaikan Ines menjamu kami. Kesan yang begitu dalam kepada salah satu penduduk kota Santa Cruz
dan negara Bolivia itu sendiri, bahwa kami pun baru saling mengenal, tetapi
sudah seperti saling mengenal bertahun-tahun. Saya pun tak lupa mengirim email
kepada Indra untuk mengucapkan terima kasih karena sudah mengenalkan dan
mempertemukan Ines dan saya.
Mencari oleh-oleh!
Setelah acara pameran yang berlangsung selama
10 hari selesai digelar, kami pun menyempatkan diri untuk membeli oleh-oleh
khas Bolivia. Santa Cruz menyediakan pasar khusus oleh-oleh Bolivia yang
tertata rapi. Wajah para penjual mirip sekali satu sama lain, hihi..
Berfoto dulu dng penjual oleh-oleh (kiri), saya, Bu Indah dan Budiman |
Secuil pengamatan…
Di kota Santa Cruz ini, cukup
banyak turis dan bangsa pendatang. Contohnya, saya bertemu turis asal Swiss
yang pernah mengunjungi Indonesia. Obrolan pun jadi nyambung. Si turis sedang
menikmati penjelajahan amerika selatannya, mulai dari Argentina, Bolivia,
Colombia dan Peru.
Lalu secara kebetulan, saya mencoba makan siang di salah satu restoran di dekat hotel yang dikelola oleh pasangan suami-istri
asal Jerman yang membuka usaha restoran dengan musik live.
Salah satu contoh makanan khas Santa Cruz. |
Disini, nih, saya
jadi mengetahui bahwa setiap kita makan di restoran, harus memberi tip minimal
20% dari total makanan dan minuman yang kita konsumsi. Tadinya, sih, saya pikir
agak aneh karena di Indonesia maupun di Prancis, kita memberi tip sesukanya.
Bahkan tidak memberikan tip juga tidak apa-apa karena harga makanan sudah termasuk pajak
dan pelayanan restoran.
Nah, saya belajar dari pengalaman bersantap di restoran di negara ini bahwa kebanyakan negara amerika
latin, para pelayan tidak mempunyai gaji yang cukup, sehingga mereka
mengandalkan tambahan dari tip
pengunjung restoran. Dan pemberian tip dengan presentasi tertentu berlaku juga di
negara-negara amerika latin yang saya kunjungi.
Masa tinggal di Bolivia pun berakhir. Sesuai harapan pak supir taksi yang mengantar saya dari bandara ke hotel di pusat kota, masa tinggal di kota ini begitu menyenangkan. Saya banyak mendapat pengalaman berharga dan beruntung bisa berkenalan, berbaur dengan penduduknya dan juga mengetahui kebiasaan-kebiasaan yang tidak biasa dari sudut pandang saya.
(Santa Cruz de la Sierra, sept 2007)
Untuk Indra, Ines dan keluarga yang berbaik hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar