Like

Selasa, 19 November 2013

Rembang dan Lasem : Berkelana Tanpa Mesin Waktu


Teknologi canggih. Twitter. Napak tilas leluhur.

Tiga kalimat tersebut yang dapat menggambarkan mengapa saya menjejakkan kaki di Rembang dan Lasem, Jawa Tengah, Indonesia.

Jika bukan karena media sosial di mana seluruh umat manusia ini berinteraksi – Indonesia tanpa kecuali, secara tak sengaja bertemu Fahmi Anhar yang membawa perkenalan saya kepada Mas Pop. Beliau adalah pencetus ide, pendiri dan penggerak Rembang Heritage Society.

Perjalanan saya ke pesisir dan ke beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta ke beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah untuk ziarah dan napak tilas jepara leluhur saya yang tersebar di tanah Jawa. Bermula dari Semarang, Jepara, lalu ke Pati berlanjut ke Rembang, Tuban sampai ke Surabaya, Yogyakarta dan Purwokerto.

Terpesona Rembang dan Lasem

Waktu berpihak kepada saya yang pada saat bersamaan saya tiba di Rembang, ternyata Paguyuban Pelestari Pusaka Bhre Lasem dan Rembang Heritage Society mengadakan acara Malam Pusaka di desa Tariksono, Lasem. Jadilah saya bisa hadir di tengah-tengah mereka. 

Bersama Paguyuban Pelestari Pusaka Bhre Lasem dan Rembang Heritage Society di Malam Pusaka Lasem di desa Tariksono.

Acara yang diprakarsai oleh Paguyuban Pelestari Pusaka Bhre Lasem dan Rembang Heritage Society adalah bertujuan mengumpulkan, mempresentasikan serta mengajak masyarakat untuk peduli dengan pusaka, yang tidak hanya berbentuk barang, tetapi juga tempat sejarah dan alam. Bahkan Pak Kepala desa pun hadir memberikan dukungan. Dari acara tersebut, saya mendapat banyak teman. Senang sekali bisa hadir di tengah-tengah mereka.

Keesokan harinya, Mas Pop menemani saya berjalan-jalan keliling Lasem yang dimulai dari ladang garam yang terhampar luas di pesisir pantai Lasem. Para petani garam yang bekerja tanpa lelah menunjukkan dedikasi atas pekerjaan mereka. Saya pun dimanjakan oleh pemandangan yang luar biasa indah dari aktivitas yang ada pada siang menjelang sore hari tersebut.

Ladang garam di pesisir pantai Lasem.


Perjalanan dilanjutkan mengunjungi sebuah Klenteng tua yang masih terawat, yang menjadi saksi bisu serajarah Lasem yang pernah berjaya dimasanya. Seakan dimensi waktu tidak bergerak, saya masih bisa menyaksikan deretan bangunan tua yang tak peduli dengan perubahan waktu dan zaman.



Mereka yang hidup dalam harmoni dan ketentraman…

Potret Lasem yang saya tangkap kurang dari 48 jam adalah menawarkan kejujuran, sederhana dan apa adanya. Seperti kebanyakan potret penduduk Jawa yang nrimo keadaan, membuat Lasem mensyukuri karuniaNya dan tidak berambisi untuk melakukan perubahan. Yang membuat trenyuh adalah mereka masih bersedia berbagi dalam keterbatasan.

Hidup dalam harmoni dan kesederhanaan.


Contoh nyata yang saya alami adalah ketika mas Pop mengajak saya mengunjungi Rumah Oma-Opa dan Mbak Minuk di desa Karangturi. Mereka adalah salah satu potret penduduk Lasem yang tidak neko-neko. Ceria dan nrimo mengisi hari senjanya dengan bersyukur dan tidak mempunyai keinginan yang muluk. Sungguh damai, sejahtera dan legowo mengisi hidupnya.

Mengenal Batik Lasem

Ketika matahari sudah tenggelam, perjalanan selanjutnya adalah mengunjungi pengrajin batik yang juga penari tradisional di desa Sendangsari. Adalah Pak Parlan, seniman yang serba bisa: membatik, menari dan mengajar tari Jawa untuk melestarikan kesenian Jawa. Untuk melihat langsung apa yang dikerjakan pak Parlan, saya pun diajak untuk menyaksikan langsung pelatihan batik yang dibina olehnya di Desa Matingan, Bulu yang tidak jauh letaknya dari Makam Pahlawan Nasional RA Kartini.

Batik Lasem dan pelatihannya di desa Mantingan-Bulu binaan Pak Parlan.

Blusukan ke pasar tradisional dan wisata kuliner

Keesokan harinya, Mas Pop mengajak saya untuk mengenal semakin dekat masyarakat Rembang-Lasem adalah mengunjungi pasar tradisional serta berwisata kuliner.

Di pasar tradisional Rembang, kita bisa menyaksikan interaksi langsung antara penjual dan pembeli, yang rata-rata penjualnya sudah sepuh tetapi masih bersemangat mencari rejeki. Dari penjual sayur, makanan, ikan asin sampai kutang tradisional bisa saya temukan di sana. Ssttt...saya pun membeli beberapa kutang jawa yang biasa dipakai nenek-nenek ketika berkebaya, hehe..jarang, kan, kita jumpai lagi di pasar-pasar? Semog kutang-kutang dan kebaya-kebaya tidak punah dengan arus perkembangan zaman yang berganti gaya berpakaian. 

Potret kehidupan dan aktivitas masyarakat.

Setelah bluskan ke pasar dan membeli aneka jajanan, kami berwisata kuliner yang dikenalkan Mas Pop pagi itu adalah sate Srepeh yang letaknya tidak jauh dari pusat kota Rembang. Sangat lezat dan mengenyangkan sebelum saya melanjutkan perjalan menuju Surabaya dengan menumpang bus umum yang melewati pesisir Jawa.


Secuil goresan tentang Rembang-Lasem…

  • Mengutip kata mas Matoya dari Paguyuban Pelestari Pusaka Bhre Lasem pada Malam Pusaka, sebaiknya tidak tinggal lebih dari 2 hari di Lasem? Mengapa? Karena akan jatuh cinta. Tidak perlu menunggu 2 hari sampai jatuh cinta. Kesederhaan, kejujuran dan apa adanya Lasem sudah membuat saya terpesona.
  • Jarak Rembang-Lasem kurang lebih 12 km, jadi tidak terlalu jauh untuk mondar-mandir.
  • Menyajikan harmonisasi dalam setiap nadi kehidupannya dengan berbaurnya kebudayaan Jawa, Arab dan Cina dalam kehidupan sehari-hari, berupa sisa peninggalan bangunan, budaya maupun ritme kehidupan sehari-hari.
Arsitektur favorit saya: pintu.
  • Beruntung bisa menyaksikan wayang kulit di salah satu acara resepsi pernikahan yang digelar tak jauh dari rumah Pak Parlan, sang penari dan pengrajin batik.
  • Kagum dengan para pemuda yang bergabung dalam wadah komunitas yang tergerak mengumpulkan pusaka yang berbentuk peninggalan budaya dan alam yang masih ada di Rembang-Lasem.
  • Sedikit pesan dari saya: jika Anda mempunyai waktu dan ingin mengenal tujuan plesiran yang agak berbeda, kunjungilah Rembang-Lasem. Dua kota di pesisir Jawa Tengah yang mempunyai daya tarik tersembunyi.


Matur nuwun Mas Pop, Paguyuban Pelestari Pusaka Bhre Lasem, Rembang Heritage dan Fahmi Anhar serta para leluhur saya yang meninggalkan jejak di pesisir Jawa.